Laki-laki itu tampak kurang saleh. Ia tak rajin ke gereja. Ia alpa pula mengingat lengkap 10 perintah Tuhan. Cacat ini akhirnya memudahkannya masuk ke dalam daftar orang yang dituduh bekerja dengan Setan dalam sihir hitam. Hakim memutuskan: ia harus digantung.
Tapi kita tahu ia tak berdosa. Tuduhan bekuganjang yang berkecamuk di desa itu telah membunuhnya. Seorang bocah sakit dan sejumlah gadis berkelakuan ganjil, dan penduduk dicekam ketakutan diserang santet. Ketegangan menyembul di sela-sela konflik kepentingan yang dicoba sembunyikan di tempat terpencil itu. Tuduh-menuduh menyebar.
Suasana itugabungan yang seram antara paranoia, keyakinan agama, dan kekuasaanadalah yang diabadikan Arthur Miller dalam The Crucible, sebuah karya yang akan tetap dikenang dunia ketika penulisnya meninggal dalam umur 89 di rumahnya di Connecticut akhir pekan lalu, 11 Februari 2005. Tentu, Miller menghasilkan karya yang lebih menyentuh, The Death of Salesman, atau lebih tangkas, All My Sons. Tapi The Crucible akan ditengok lebih sering hari ini.
Inilah masa ketika dengan iman orang membinasakan orang lain dan berkata, "Siapa yang tidak bersama kami adalah musuh kami." Presiden Bush pernah mengucapkan kata-kata itu, sebuah sikap yang didukung orang-orang Kristen Kanan di negerinya. Kita tahu kaum fundamentalis Amerika itu tak sendirian: yang Islam, yang Yahudi, dan yang Hindu, dengan alasan politik dan theologi yang berbeda dan dengan kalimat yang berbeda pula, beramai-ramai bersuara garang dan muram.
Miller sendiri cemas. Di tengah suasana "perang antiterorisme" Bush, setahun yang lalu ia menulis sebuah esai pendek, dan ia ingat bahwa 50 tahun yang lampau ia "terdorong untuk menulis" satu kalimat bagi pidato si tokoh hakim dalam The Crucible. "Tuan mesti mengerti," kata hakim itu, "orang harus berpihak kepada mahkamah ini, atau ia akan dianggap menentangnya." Tak ada jalan tengah. Sebab "ini zaman yang tajam kita tak hidup di senja remang-remang di mana iblis bercampur dengan kebaikan dan membuat dunia bingung."
"Zaman yang tajam" itu memang bisa datang berulang kali. The Crucible ditulis ketika kekuasaan di Amerika, jauh sebelum George W. Bush, mengejar-ngejar siapa saja yang berbahaya, artinya siapa saja yang "komunis". Karena kampanye Senator McCarthy, puluhan orangtermasuk yang bekerja di dunia teater dan film, seperti Charlie Chaplin dan Elia Kazandicurigai "merah". The House of Un-American Activities (sebuah nama yang menggabungkan paranoia dan patriotisme) memanggil orang-orang yang diwaspadai ke komite para wakil rakyat untuk diusut. Charlie Chaplin menolak dan meninggalkan Amerika selama-lamanya. Sutradara Elia Kazan menyerah: ia bersedia menyebutkan sederet nama kenalannya yang "tak bersih"sebuah tindakan yang kemudian menjadikannya pengecut seumur hidup.
Miller juga tak luput. Ia diusut keikutsertaannya dalam gerakan Kiri di masa lalu. Ia memang datang dari generasi yang jadi dewasa di tahun 1930-an, ketika semangat Kiri bergolak penuh amarah penuh idealisme. Ia mengakui semuanya, meskipun ia tak pernah jadi anggota Partai Komunis. Tapi ia menampik waktu dipaksa menyebut nama-nama lain yang "terlibat". Ia tak hendak berkhianat. Ia siap dianggap menghina lembaga pengusut di Bukit Kapitol itu.
Beruntung ia tak jadi dihukum, ketika kegalakan "zaman yang tajam" itu mereda di akhir 1950-an dan "McCarthyisme" berubah jadi cerita teror sebuah kepicikan. Tapi peristiwa itu agaknya mengukuhkan apa yang juga pernah dikatakannya sendiri setelah ia menulis A View from The Bridge: "Sekali kita menerima ide bahwa kita membutuhkan ortodoksi, kita harus menempuh Inkuisisi."
Dengan kata lain, ortodoksi akan bergerak ke penindasan. Dalam sejarah agama, pelbagai bentuk Inkuisisi telah membunuh begitu banyak tubuh dan jiwa, dan begitu banyak orang bermutu yang menderita karena itu. Dalam sejarah Islam, di Bagdad abad ke-9 Khalifah Al-Ma'mun menjalankan mihna untuk memaksakan doktrin agamanya. Ia menganiaya Imam Hambali. Dalam sejarah agama Yahudi, Patriakh di Palestina di awal milenium pertama mendesak agar seorang rabbi muda yang membawa Sabda baru disalib, dan berabad kemudian para ahli agama menghukum Spinoza. Dalam sejarah Kristen, Inkuisisi Gereja membakar hidup-hidup ratusan orang yang dianggap murtadsesuatu yang juga ditirukan Calvin di Jenewa dengan membasmi tubuh Servetus di tiang kayu.
Semua itu tak membuat ajaran yang dipaksakan itu menang. Tapi berulang kali ortodoksi bertaut dengan kekerasan, dan teror itu bangkit kembali. The Crucible adalah sebuah alegori untuk paranoia Amerika tahun 1950-an. Tapi kita tahu Miller mengambil ceritanya dari sejarah dusun Salem di sudut Massachusetts di abad ke-17, ketika kaum Puritan mulai berkuasa di koloni itu.
Pada suatu saat sejumlah penduduk dianggap main santet. Pengusutan pun mulai dengan sengit. Selama beberapa bulan di tahun 1692, belasan laki-laki dan perempuan diangkut untuk digantung di sebuah bukit di tebing gundul. Seorang berumur 80 tahun ditindih batu berat sampai mati ketika ia menolak untuk mengaku.
The Crucible Miller menggubah kembali kejadian sejarah itu dengan tokoh John Proctor yang akhirnya juga digantung. Proctor agaknya telah lama merasa bahwa gereja dan penguasanya bukanlah tempat berlindung. Ia tak mau pergi ke kebaktian karena Parris, sang pengkhotbah, hanya bicara tentang "neraka dan kutukan". "Tuan hampir tak pernah menyebut Tuhan lagi, Tuan Parris," katanya.
Tentu saja Tuhan selalu disebut, Tuan Proctor. Tapi Tuhan dalam iman dan kebencian. Artinya, sesuatu yang akan terus ada. Carlos Fuentes, ketika memperingati ulang tahun Arthur Miller yang ke-80, pernah mengatakan bahwa iman dan kebencian itu, bigotry, adalah dosa abad ke-21. Akankah ia mengatakannya lagi ketika Miller meninggal?
Goenawan Mohamad