Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

"Lalu Waktu, Bukan Giliranku..."

Oleh

image-gnews
Iklan
Seribu tahun, seratus tahun: dalam soal waktu, hitungan-hitungan besar membuat kita kecut. Umur rata-rata seorang manusia tak pernah mencapai jumlah seraksasa itu. Tiap kali kita tercenung di depan buku agenda pribadi yang hampir habis, milenium dan abad tampil dengan sosok yang tak terjangkau. Keduanya adalah fenomena kebersamaan. Seribu tahun, seratus tahun: angka itu menyadarkan kita bahwa orang per orang, yang masing-masing segera tiada, tak pernah sendirian. Generasi demi generasi bersambungan. Bermacam suku, beragam ras, umat, bangsa, dan satuan kolektif lain berbareng berada dalam sebuah ruas waktu yang sama—meskipun mereka mungkin tak saling kenal, tak pernah berpapasan. Kata "ruas" di sini menyiratkan bahwa waktu telah diterjemahkan dan sekaligus diukur ibarat sebatang buluh. Kecerdasan manusia membuat waktu seakan-akan sebuah barang yang terentang, dengan batas yang pasti antara kemarin dan hari ini, antara November dan Desember, antara tahun 1999 dan 2000. Pikiran matematis dan imajinasi sering menimbulkan ilusi. Waktu yang menjadi seperti sebatang buluh tentu bukan waktu yang "sebenarnya". Bila saya naik kapal terbang dari Palembang ke Biak pada pukul 24:00 tanggal 31 Desember 1999, dengan segera saya akan masuk ke pukul 01:00, dan itu berarti di abad yang berbeda, bahkan di milenium yang lain. Sementara di pelbagai titik di muka bumi orang sedang ramai berpesta atau berupacara khusus menyambut datangnya tahun 2000, saya dan pesawat yang saya naiki tak akan pernah terasa memasuki gerbang sebuah zaman baru apa pun. Bahkan seandainya saya tak punya arloji, dan tak ada pengumuman dari kapten pilot, saya tak akan terperanjat. Mungkin saya tidur dan ketika bangun—di sebuah jarak baru, di sebuah milenium baru—saya akan masih memiliki cuping hidung seperti dalam milenium yang lalu, duduk di nomor kursi yang saya duduki di abad yang lewat. Di luar, langit tetap setengah putih, satu, seperti dulu. Tetapi manusia hidup dengan akal budi dan kesadaran. Ketika nalar menerjemahkan waktu menjadi sesuatu yang mempunyai ruas dan buku, mempunyai tepi, dengan detik, dengan jam, dengan hari, pekan, bulan dan tahun, kita pun menjadi sadar akan awal dan akhir. Kita berpikir tentang kelahiran, usia lanjut, dan kematian. "Lalu waktu, bukan giliranku…", tulis penyair Amir Hamzah dalam sebuah sajaknya, beberapa tahun sebelum ia mati dibunuh. Kesadaran akan hidup yang fana, juga kesadaran akan hadirnya orang lain dalam perkara ada dan tak ada, dalam soal datang dan pergi, dalam soal "giliran", menyebabkan kita peka tentang batas. Melankoli ini punya peran penting dalam sejarah. Dengan rasa murung dan sayu, manusia menerima pesan tentang "hari kemudian". Para fir'aun membangun piramida agung untuk jadi alam para raja yang mangkat, tempat mereka mencari bahtera ke kehidupan yang kekal. Nabi-nabi datang ke pintu gerbang dan memperingatkan tentang akhirat dan hari kiamat. Tokoh yang berkuasa membangun dinasti, melahirkan pangeran penerus, dan tambo pun ditulis, prasasti ditegakkan, riwayat pada daun lontar diawetkan. Manusia mengatur waktu seraya ia mengatur ruang. Ia mengakali dunia dan sifatnya tak abadi. Ia membuat proyeksi dan rencana. Ia menyusun langkah dan skala prioritas. Ia sadar bahwa ia tak tahu apa saja yang akan berubah bersama waktu, bagaimana akan berubah, sementara ia tahu ada hal-hal yang tak akan hadir lagi. Maka, ia pun memanfaatkan pengalaman. Pengalaman adalah ingatan. Ingatan pun menjadi tradisi. Dan tradisi adalah kenangan kolektif untuk mempertahankan diri dari ketidakpastian perubahan. Ada sebuah peti yang disebut "masa lampau" dan sangat berharga…. Masa lampau itu jadi penting pada hari-hari ini, justru ketika kita merayakan (dan mencemaskan) datangnya sebuah milenium baru dan sebuah abad baru. Tentu saja ada unsur nostalgia. Namun, nostalgia—rasa kehilangan masa lalu itu—bukanlah hal yang tak disangka-sangka di sini. Dalam khazanah kebudayaan manusia, masa silam sering disamakan dengan keadaan tanpa dosa, sebuah firdaus kemurnian. Ada selalu mitos tentang awal dan asal yang bersih sempurna. Sesudah itu, datanglah kejatuhan—seakan-akan manusia dibuang dari masa lalu yang tanpa cacat ke masa kini yang brengsek, seakan-akan ia menjalani hukuman: manusia hanya jadi semakin buruk dan najis bersama dengan hari dan tahun yang lanjut. Maka, ada orang yang cenderung membayangkan sebuah zaman asal yang mengagumkan, yang belum cemar oleh penyelewengan. Dalam pandangan ini, "kemajuan" menjadi masalah. Yang umumnya disebut sebagai "kemajuan" akan ditandai dengan kerusakan, polusi, bahkan keruntuhan. Walter Benjamin, sastrawan Jerman yang bunuh diri dalam ketakutan melarikan diri dari kuku naziisme, pernah berbicara tentang "malaikat sejarah" yang terbang maju dengan paras menghadap ke belakang, dan melihat unggunan puing yang makin lama makin menjulang. Itulah yang disebut "kemajuan" itu, katanya. Tapi jika "kemajuan" hanya berarti timbunan dari segala yang hancur, nostalgia pun menjadi sesuatu yang absolut. Padahal, dalam peti masa lampau itu tersimpan juga hal ihwal yang tak patut dikangeni: horor, mayat-mayat berdarah yang dibantai, perbuatan sendiri yang memalukan, segala yang jorok atau nestapa, catatan jahiliah. Dari segi ini, bisa dikatakan bahwa dengan melihat warna gelap yang telah lalu itu kita akan mendapatkan harap. Sebab, "kemajuan" ternyata berarti perbaikan. Orang juga bisa mengatakan bahwa dengan melongok ke dalam peti masa lampau itu kita akan memperoleh kearifan. Sebuah ucapan Santayana yang telah jadi klise menyebutkan bahwa siapa yang tak mengenal masa silam akan dihukum untuk mengulanginya. Tetapi "mengenal" masa lalu sebenarnya hanyalah menafsirkan masa lalu. Peti tua itu begitu dalam sehingga tak seorang pun bisa mengisahkan seluruh isinya secara persis. Tafsir kita tentang milenium dan abad yang lalu mau tak mau dibentuk oleh pengharapan dan kegentaran kita akan tahun 2000. Persoalan pokoknya: mungkinkah kita punya pengharapan dan kegentaran yang benar tentang abad baru itu, seraya mengandalkan sebuah kilas balik, sebuah kesimpulan tentang pengalaman kita? Barangkali tidak. Sebab, jika ada yang bisa dikatakan tentang milenium kedua nanti ialah kenyataan bahwa seperti dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, perubahan bukan hanya terjadi pada benda dan manusia. Perubahan juga telah mengubah pengertian "perubahan" itu sendiri. "Perubahan" kian lama kian tak bisa diartikan sebagai apa yang baru terjadi pada sesuatu yang identitasnya sama. Sebab, "identitas" apa pun semakin tak bisa ditangkap secara tetap atau pasti. Orang "Eropa", misalnya, tak lagi hanya berarti orang kulit putih yang mewarisi peradaban Kristen dan Yunani, tapi juga misalnya mereka yang di Prancis diejek sebagai "orang Beur", keturunan Arab yang muslim dan berambut gelap. "Perempuan" tak lagi didefinisikan sebagai manusia yang hamil dan beranak. "Santri" dan "abangan" tak jelas lagi ciri khusus masing-masing. Edward Said, cendekiawan Palestina yang juga orang Amerika itu (tapi terkadang lebih keras suaranya ketimbang Yasser Arafat), pernah mengatakan bahwa, "Tak seorang pun kini yang semata-mata hanya satu hal." Ada pernah masanya ketika batas-batas identitas dianggap jelas: "Barat" dan "Timur", "kapitalis" dan "komunis", "kolonialis" dan "revolusioner". Paham dan ideologi dari abad ke-19 Eropa, kemudian sebuah periode yang disebut sebagai "Perang Dingin" antara 1945- 1989, telah ikut mempertebal garis seperti itu. Tetapi pembagian lama itu berangsur-angsur buyar. Kita tak tahu lagi apakah RRC sebuah negeri "sosialis" atau "kapitalis". Yang mencair tak hanya itu. Kini bahkan "negara-bangsa" sebagai satuan politik dan geografis mulai larut dan globalisasi modal dan tenaga kerja mempercepat proses itu. Manusia pun mencoba berkelompok dalam identitas-identitas lain, yang bukan lagi "nasional", melainkan agama ataupun etnik. Acap kali dengan memusuhi kelompok yang dinyatakan beda. Keyakinan bahwa "manusia itu satu", yang pernah diajarkan oleh agama dan filsafat, kini terancam. Politik identitas bisa sangat keras meledak—dan itulah yang terjadi dalam kebrutalan pro-Nazi di Eropa, kekejaman antarpenduduk di Kalimantan Barat, di Ambon, di Rwanda, di Kosovo. Tetapi menggantikan identitas "nasional" dengan identitas agama atau etnis pada akhirnya akan dikacaukan oleh perubahan yang semakin gila di kemudian hari. Semenjak menjelang akhir abad ke-20, pelbagai kehidupan sosial dengan cepat menjadi kehidupan dunia hibrida. Tak akan terelakkan, misalnya, bahwa pengertian "Indonesia" harus dirumuskan kembali—bukan lagi seperti penggambaran tahun 1945, dan mungkin bukan lagi seperti pada 1928. Namun, tak hanya itu. Mungkin Aceh kini sedang ingin menjadi Aceh dan bukan lagi sebagian dari pengertian "Indonesia", dan Irian ingin menjadi "Papua". Tapi, pada gilirannya nanti, akan terjadi krisis baru dan akan ada persoalan: "Aceh" itu apa sebenarnya? Juga "Papua"? Di hadapan semua itu, tradisi dan konsep masa lampau akan bungkam. Jika perlu ada kearifan dari peti peninggalan itu, inilah yang akan termaktub: seribu tahun yang lalu benua-benua retak dan dibangun, seratus tahun yang silam bangsa-bangsa lahir atau surut. Kelak, satu milenium lagi—bahkan mungkin kurang dari seabad lagi—apa yang kini terbentuk juga bisa digusur waktu. Waktu adalah pedang. Impian meninggi akan terpenggal, dan bermacam-macam utopia dicampakkan. Jangan ngotot, Bung! John Maynard Keynes pernah mengatakan dari bidang ekonomi, "In the long run we are all dead." Kelak, toh, akhirnya kita semua mati—sebuah pesan untuk seluruh kehidupan.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Progres Bandara VVIP IKN 15 Persen, Dijamin Bisa Dipakai saat HUT RI Tahun Ini

12 menit lalu

Desain Bandara VVIP di IKN. Foto: Istimewa
Progres Bandara VVIP IKN 15 Persen, Dijamin Bisa Dipakai saat HUT RI Tahun Ini

Ketua Satgas Pelaksanaan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) Danis Sumadilaga mengatakan Bandara VVIP IKN bisa digunakan pada 17 Agustus 2024.


Bertemu Panglima TNI, Ketua Komnas HAM Sebut Tak Khusus Bahas Soal Papua

18 menit lalu

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait persoalan HAM selama Pemilu 2024 di Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024. Sejumlah pelanggaran HAM yang ditemukan di antaranya, hak pilih kelompok marginal dan rentan, netralitas aparatur negara, hak kesehatan, dan hak hidup petugas pemilu. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Bertemu Panglima TNI, Ketua Komnas HAM Sebut Tak Khusus Bahas Soal Papua

Pertemuan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Komnas HAM tidak secara khusus membahas konflik di Papua dan upaya penyelesaiannya.


Profil Gunung Ruang yang Mengalami Erupsi di Sulawesi Utara

20 menit lalu

Erupsi Gunung Ruang di Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara, Rabu, 17 April 2024. Data PVMBG menyebutkan selama kurun waktu 24 jam terakhir sudah terjadi lima kali erupsi dengan ketinggian 1.800 meter hingga 3.000 meter dari puncak Gunung Ruang. Foto: X/@infomitigasi
Profil Gunung Ruang yang Mengalami Erupsi di Sulawesi Utara

Gunung Ruang salah satu gunung berapi aktif di Sulawesi Utara. Gunung ini mengalami letusan eksplosif terbaru dalam kurun waktu 22 tahun terakhir


Hari Ini Mangkir Karena Sakit, Bupati Siodarjo Gus Muhdlor Akan Kembali Dipanggil KPK Pekan Depan

21 menit lalu

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali melakukan orasi di parkir selatan Ponpes Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis 1 Februari 2024. ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Hari Ini Mangkir Karena Sakit, Bupati Siodarjo Gus Muhdlor Akan Kembali Dipanggil KPK Pekan Depan

KPK akan kembali memanggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor untuk pemeriksaan sebagai tersangka pekan depan.


Usai Jokowi dan Prabowo, Tony Blair Temui Airlangga Bahas Geopolitik hingga Transisi Energi

27 menit lalu

Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair mendatangi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juli 2023. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup itu membahas perkembangan kemajuan teknologi Artificial intelligence atau AI untuk merevolusi sistem birokrasi pemerintahan hingga dukungan terhadap pembangungan IKN. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Usai Jokowi dan Prabowo, Tony Blair Temui Airlangga Bahas Geopolitik hingga Transisi Energi

Tony Blair menemui Airlangga Hartarto membahas isu geopolitik, transisi energi, hingga inklusivitas keuangan.


Soal Dugaan Match Fixing Laga Bhayangkara FC vs Persik Kediri di Liga 1, Ini Kata Erick Thohir

32 menit lalu

Ketum PSSI Erick Thohir. PSSI.org
Soal Dugaan Match Fixing Laga Bhayangkara FC vs Persik Kediri di Liga 1, Ini Kata Erick Thohir

Erick Thohir mengirim surat ke Komite Disiplin PSSI menanggapi laporan dugaan match fixing di laga Bhayangkara FC vs Persik Kediri.


Mengenal Sembilan Habib dan Penamaan dalam Kepengurusan PBNU

33 menit lalu

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus saat memberikan tausyiyah dalam Pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Senin, 29 Januari 2024. Dok.istimewa
Mengenal Sembilan Habib dan Penamaan dalam Kepengurusan PBNU

Ada sembilan orang habib dalam struktur kepengurusan PBNU Periode 2022-2027.


Usai Banjir Bansos Jelang Pemilu, Ada Lima Bansos yang Cair Setelah Lebaran 2024

44 menit lalu

Seorang nenek dan cucunya membawa paket sembako di Kelurahan Braga Bandung, Jawa Barat, 2 April 2024. Kementerian Sosial membagikan paket sembako untuk 323 penerima bantuan terdampak banjir bandang yang terverifikasi berupa beras 10 kg, susu, minyak goreng, kecap, dan minyak kayu putih. TEMPO/Prima Mulia
Usai Banjir Bansos Jelang Pemilu, Ada Lima Bansos yang Cair Setelah Lebaran 2024

Sejumlah Bansos akan cair setelah Lebaran 2024, di antaranya PKH dan Bantuan Pangan Non-Tunai.


Ekskalasi Konflik Iran-Israel Berpotensi Kerek Inflasi, Dimulai dari Harga Minyak

52 menit lalu

Karyawan tengah menghitung uang pecahan 100 ribu rupiah di penukaran valuta asing di Jakarta, Rabu, 28 Februari 2024. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup melemah ke level Rp15.692 pada perdagangan hari ini. TEMPO/Tony Hartawan
Ekskalasi Konflik Iran-Israel Berpotensi Kerek Inflasi, Dimulai dari Harga Minyak

Senior Fellow CIPS Krisna Gupta mengatakan ekskalasi konflik Iran-Israel bisa berdampak pada inflasi Indonesia.


Surat Sakit Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Dinilai Janggal, KPK Ingatkan Dokter soal Pasal Halangi Penyidikan

56 menit lalu

Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali, memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 16 Februari 2024. Ahmad Muhdlor Ali, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD Kabupaten Sidoarjo, Siska Wati, pasca terjaring operasi tangkap tangan KPK, terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di Lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo. TEMPO/Imam Sukamto
Surat Sakit Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Dinilai Janggal, KPK Ingatkan Dokter soal Pasal Halangi Penyidikan

KPK menilai surat sakit Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor janggal karena harus menjalani rawat inap hingga sembuh.