Dalam hidup, juga dalam mati, Munir berjasa besar: ia menunjukkan bahwa ada mala di antara kita.
"Mala" (dari mana kata seperti "malapetaka" ber-
asal) punya akar dalam bahasa Sanskerta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1976) menyebut akar itu: mala berarti "kotor; cemar; noda; penyakit". Kata itu mencakup apa yang menyengsarakan, jahat, durjana, atau busuk. Yang terakhir ini membuat kata mala juga sama dengan "danur", air bangkai yang telah berbau menjijikkan.
Bahasa Inggris punya kata yang agak sepadan: evil. Berasal dari bahasa Inggris kuno, yfel, ia berarti "berdosa", "keji", "menimbulkan rasa tak enak atau rasa muak", "busuk", "menimbulkan celaka". Sebagai kata bendayang menurut Kamus Merriam-Webster mulai digunakan sebelum abad ke-12evil menandai "penderitaan", "kemalangan", dan "kejahatan". Juga sesuatu yang menimbulkan duka dan kepedihan.
Pernah ada zaman ketika evil adalah sesuatu yang gelap dan gaib. Susan Neiman, yang menulis Evil in Modern Thought, mengemukakan bahwa pada abad ke-18, kata evil mencakup baik perbuatan kejam manusia maupun kejadian alam yang membuat orang sengsara. Pada masa itu, tsunami yang nyaris menghabisi Kota Lisbon pada tahun 1755 dianggap sebagai evil.
Orang memang belum tahu perihal lempeng tektonik dan kerak bumi; seismologi baru mencapai telaah itu berpuluh-puluh tahun kemudian. Bencana Lisbon memukau para pemikir Eropa karena alam tampak cacat secara menakutkan dan tak disangka-sangka. "Pemakaian kata Lisbon pada abad ke-18", tulis Nieman, "sama dengan pemakaian kata Auschwitz hari ini". Sebab di sana sesuatu yang dahsyat terjadi: "runtuhnya rasa percaya yang paling asasi kepada dunia", dan itu berarti guncangnya "dasar yang memungkinkan peradaban".
Tapi abad ke-20 mengajari kita bahwa "rasa percaya yang paling asasi kepada dunia" runtuh bukan karena bencana alam. Ada mala atau evil yang berbeda sama sekali, dan Auschwitz adalah contohnya. Di kamp konsentrasi yang didirikan Nazi itu, sejumlah manusia berhasil membinasakan jutaan orang Yahudi, orang Tsigana, orang homoseksual, serta para tahanan politik, antara lain dengan membariskan mereka, seperti ternak yang telanjang, berjalan rapi ke dalam kamar gas beracun.
Apa yang bisa dijelaskan? Dari Auschwitz tak lahir ilmu pengetahuan seperti seismologi, yang mencerminkan hasrat dan kapasitas manusia untuk mengerti sebab kesengsaraan yang terjadi. Dari Auschwitz kita seakan-akan kemekmek terus-menerus: mungkinkah kita menyusun sebuah "seismologi" kekejaman? Neiman menjawab, tidak. Tak akan ada ilmu yang akan menjelaskan mala yang seperti itu. Bahkan ia juga tak menganggap akan ada penjelasan metafisik dan theologis yang memadai.
Memang pernah orang menenteramkan diri dengan mengatakan bahwa mala itu desain Tuhan. Dengan kata lain, tiap kesengsaraan manusia atau kebusukannya dianggap sebagai bagian iradah-Nya.
Tapi coba kita ingat orang-orang yang dianiaya di kamar gas itu, atau kita ingat Munir ketika ia tergeletak kesakitan karena racun menyerang tubuhnya. Bisakah kita katakan kedurjanaan itu adalah bagian dari rencana Illahi?
"Tuhan kita terlalu pengasih, terlalu adil, dan terlalu pemurah untuk melakukan hal itu kepada hamba-Nya". Pada abad ke-8, seorang alim dari Basra, Al-Hassan al-Basri, mengucapkan kata-kata itu: baginya, sebagaimana bagi para pemikir Muktazillah umumnya pada zaman itu, bila kita letakkan segala hal, juga malapetaka dan kebengisan, ke dalam kehendak Tuhan, itu sama artinya dengan kita bayangkan Tuhan sebagai sumber kezaliman. Itu juga sama artinya dengan membersihkan manusia dari pertanggungjawaban. Manusia adalah makhluk yang merdeka, kata para pemikir muslim abad ke-8 itu.
Kini kita juga tak dapat mengatakan mereka yang memasukkan racun ke tubuh Munir hanyalah para pelaksana yang digerakkan tapi tak diberi tahu oleh Sang Perancang. Sebab, jika demikian, bagaimana kita akan berbicara tentang keadilan dan kekejian di antara kita?
Itu sebabnya Munir jadi seorang aktivis. Ia hendak membuat mala sesuatu yang gelap namun tak gaib. Bau bacin bangkai itu tak datang dari langit, dan sebab itu harus disingkirkan. Tak ada kehidupan sosial yang dapat bertahan dengan itu.
Namun ia dibunuh. Ia belum selesai bekerja. Yang ternyata kemudian terjadi ialah bahwa pada titik ketika ia terputus, ia sebenarnya kembali mengingatkan: ternyata mala sebusuk itu dapat tumbuh dalam sebuah kehidupan bersama. Dan kini kita harus berpikir, dapatkah kedurjanaan itu diterangkan.
Kita bisa mengingat Hannah Arndt, yang akan bilang: "Tentu dapat." Ia telah menyimak sang algojo, Adolf Eichmann, ketika laki-laki Jerman yang mengatur pembantaian itu duduk di kursi mahkamah Israel. Yang dilihat Arndt ternyata bukanlah sesosok monster, melainkan seorang yang lumrah, pejabat yang ambisius dalam mesin yang bengis, dan sekaligus seorang manusia yang tak punya lagi perasaan. Bagi Arndt, mala yang terjadi bukanlah hasil kekejian luar biasa manusia; sang algojo justru mencerminkan the banality of evil.
Arndt, yang melihat totalitarianisme sebagai kengerian abad ke-20, akan menunjukkan sifat banal itu terjadi ketika manusia hanya melihat diri sebagai bagian dari sebuah cita-cita, gairah, juga kebencian yang total, yang menemukan bentuknya dalam Negara yang kekuasaannya mencakup ke semua sudut. Dapatkah kita katakan ada kebanalan yang sama pada pembunuhan Munir?
Saya memang membayangkan para petugas yang bersedia membunuh. Tapi Indonesia pada tahun 2004 bukanlah Jerman tahun 1930-an: kini, di sini, tak ada cita-cita, gairah atau kebencian tunggal dan menyeluruh yang membuat totalitarianisme bekerja. Yang ada hanya sisa-sisa kebuasan yang ingin mempertahankan diri dalam sistem. Munir gugur dan ia mengingatkan, mala di antara kita bukanlah mala pada tiap kita.
Tapi kemudian kita harus bisa menuding siapa sang durjana.
Goenawan Mohamad