-- Hr. Bandaharo
DI sebuah sudut agak di luar Kota Leningrad berbaris ratusan makam yang hampir rata dengan bumi. Tiap petak nyaris ikut kusam di antara warna tanah yang gelap. Dulu, ketika kota Rusia itu belum diganti nama menjadi St. Petersburg, para penziarah akan mendengar rekaman sebuah himne syahdu yang dimainkan oleh sebuah orkes besar, seakan-akan sedang datang lagu dari langit. Suasana takzim. Seperti ditulis penyair Hr. Bandaharo, "pahlawan tak mati-mati" di sinidan tak dikehendaki untuk mati. Pahlawan: mereka yang dalam dingin yang hebat dan lapar yang merongrong mempertahankan kota itu dari kepungan pasukan Jerman antara tahun 1941-44. Mereka tak pernah menyerah. Mereka gugur. Mereka bertempur, mereka bertahan, mereka tanpa harapan, tanpa ketakutan.
Para pahlawan tak mati-mati (di Leningrad, di Surabaya, atau di mana saja) justru karena mereka telah mati. Seorang pahlawan adalah seseorang yang diubah secara radikal oleh sebuah tindakan yang tak ada bandingannya: ia telah menyiapkan diri untuk tak menjadi dirinya sendiri lagi. Mungkin itu sebabnya makam di Leningrad itu hampir rata dengan muka bumi. Mungkin itu pula sebabnya nama orang Amerika yang terbunuh dalam Perang Vietnam hanya seperti selarik baris biasa dalam sebidang daftar yang besar di marmar hitam di monumen terkenal di Washington, DC itu. Pahlawan tak pernah sendirian. Saya selalu tergetar membaca surat-surat Monginsidi, pemuda pemimpin gerilya di Sulawesi Selatan itu, yang ditulisnya dari penjara sebelum ia dieksekusi regu tembak Belanda di Makassar 5 September 1949: ia tak berbicara tentang dirinya sendiri. Ia bicara tentang anak-anak muda yang "sebagai bunga yang sedang hendak mekar, tetapi digugurkan oleh angin yang keras". Ia berbicara tentang sesuatu dalam bentuk jamak.
Seorang pahlawan tak pernah sendirian, juga karena ia bertaut dengan sesuatu yang di luar dirinya. Dalam mitologi Yunani konon Theseus mengucapkan ini: "Negeri, itulah yang memberi cahaya yang gilang-gemilang pada kehidupan."
Negeri (dalam bahasa Melayu kata itu bisa berarti "kota" atau "wilayah hidup bersama", dan dalam bahasa Yunani polis) bukan sebuah daerah yang bertapal batas dan dijaga kantor imigrasi. Seperti dalam kata-kata Theseus, polis adalah "ruang tempat manusia bertindak merdeka dan mengucapkan kata-kata yang hidup". Seorang pahlawan tak pernah sendirian karena ruang itu begitu berharga bagi dirinya, bahkan lebih berharga dari dirinya.
Pahlawan tak mati-mati, pahlawan tak pernah sendirian, juga karena bahasa, tafsir, dan kenangan. Tindak kepahlawanan dalam arti tertentu seperti laku seorang hero dalam sebuah teater: bukan sang aktor yang membuat lakunya menjadi begitu agung, begitu berarti, tetapi jugaatau justrupara penonton. Hadirin itulah yang kemudian melengkapi laku itu dengan beberapa kesimpulandan dengan ingatan. Apa arti Horatio dalam Hamlet? Ia seperti sekadar pembuntut sang pangeran; ia tak mencolok. Tapi ia juga bisa jadi seorang tokoh yang luhur, dalam kesetiaan dan kesedihannya, di tengah tragedi yang penuh kematian itu, karena kita, para penonton, menampik sikap culas dan pertumpahan darah.
Mungkin sebab itu Hannah Arndt pernah mengatakan bahwa "the theatre is the political art par excellence". Kata "politis"tentu saja berhubungan dengan kata polismenunjukkan bahwa hanya dalam teater, satu-satunya subyek adalah manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Di situ pula sang hero bukan saja tak sendirian. Ia jugasementara ia seakan-akan jadi pusat kehidupansebenarnya dihidupkan dan dibentuk oleh dialog. Ia tak pernah ada. Ia selamanya menjadi. Di atas pentas, sebagaimana di percaturan hidup sebuah negeri, sang tokoh utama bergerak, bertindak, dalam sebuah proses, bahkan setelah ia mati. Apa arti "tulang-tulang berserakan" dalam sajak Chairil Anwar tentang para pejuang yang gugur antara Krawang dan Bekasi di tahun 1947? Kita yang tiap kali dituntut memberi arti itu.
Itu sebabnya seorang pahlawan tak mati-mati karena ia sebuah ilham yang terus-menerus. Tindak kepahlawanan adalah sebuah laku yang tanpa titik akhir yang jelas, tapi dijalankan juga karena ada sesuatu yang lebih berarti ketimbang hasil. Tindak kepahlawanan terjadi bukan karena seseorang telah tampil dengan pengetahuan yang siap tentang dunia (itu sebabnya dewa-dewa tak pernah jadi tokoh utama tragedi), tapi justru karena seseorang tak sepenuhnya menguasai hidup. Ada selamanya hubungan antara tragedi dan kepahlawanan, antara ketidakbahagiaan dan perlunya inspirasi.
Itu sebabnya di Leningrad (atau di antara Krawang dan Bekasi) kematian menjadi sangat menakjubkan. Mereka yang mempertahankan "ruang tempat manusia bertindak merdeka dan mengucapkan kata-kata yang hidup" tetap bersikukuh tanpa bisa tahu siapa yang akan hancur, siapa yang akan menang. Yang mereka tahu, seperti selalu kita ulang dari sajak Wiji Thukul itu, "hanya ada satu kata: lawan". Kemudian terbitlah arti. Setelah itu mungkin harap.
Goenawan Mohamad