Di setiap Desember selalu ada orang yang memutar kunci pintu kamarnya pelan-pelan, dan mendengar dunia bertanya: benarkah manusia sama? Di setiap Desember: setiap kali orang berpikir tentang hak manusia, tentang yang universal tapi meragukan dalam manusia, dan tentang hal rutin seperti Natal yang diperdagangkan atau, segera sesudah itu, tahun yang berubah.
Di setiap Desember selalu ada orang yang membeli kartu dan menuliskan di atasnya sebuah alamat: benarkah Natal, benarkah puasa dan Lebaran, sebuah saksi tentang Tuhan yang satu dan manusia yang berlain-lainan, dalam hidup yang pada dasarnya damai, teduh, di mana orang bisa saling bersalaman, menulis kartu, menyatakan kangen atau dukacita, atau sekadar memberi tahu? Atau Tuhan yang satu, manusia yang beraneka, dan waktu yang tak pernah sama?
Di setiap Desember selalu ada orang yang membaca halaman ketiga di surat kabar dan tak bisa menjawab. Banyak sekali dilema di depan pintu rumah. Beberapa pekan setelah Desember 1991: majalah People mengisahkan terbunuhnya Tina Isa.
Tina anak sebuah keluarga dari Tepi Barat di Palestina yang berimigrasi ke Amerika Serikat di tahun 1985, ketika si bungsu itu kurang-lebih masih berumur tiga tahun. Di hari itu tubuh Tina kedapatan mati dengan luka tikam. Polisi tak sulit menemukan siapa yang menusuk gadis berumur 16 tahun itu. Si pembunuh adalah bapaknya sendiri.
Si ayah membunuhnya karena percaya bahwa Tina telah merusak kehormatan keluarga dan harga diri sang bapak. Gadis itu bekerja di sebuah restoran fast-food. Ia berpacaran dengan seorang pemuda hitam, teman sekelasnya di sekolah. Zein, si ayah, tak mengizinkan. Ia akan mengawinkan Tina dengan asas seperti ketika ia mengawinkan anak-anak perempuannya yang terdahulu: memilih suami adalah hak prerogatif sang bapak. Tapi Tina melawan, berontak dengan kata-kata keras, dan akhirnya pada suatu malam seraya ibu kandungnya memegangi tangan dan tubuh gadis remaja itu, ayah kandungnya menikamnya. "Die, My Daughter, Die!"judul majalah People 20 Januari 1992.
"Siapa saja yang dibesarkan di Timur Tengah tahu bahwa dibunuh adalah konsekuensi yang mungkin terjadi bila seseorang merusak kehormatan keluarga." Itu kutipan People dari seorang ahli antropologi yang lahir dan dibesarkan di Yerusalem. Bisakah Zein dihukum? Bukanlah sah untuk punya adat yang autentik?
Berbeda adalah hak asasi manusia. Paradoks hak asasi itu ialah bahwa ia berangkat sebagai sesuatu yang universalsementara yang universal bisa dipersoalkan oleh yang partikular, yang belum tentu sama dengan yang diasumsikan oleh universalitas itu. Jika ada yang mengusik kita secara tak putus-putusnya kini adalah perihal "beda", dan apa artinya itu bagi kehidupan.
Barangkali pada mulanya adalah beda. Tapi "mula" juga tak hadir sebagai sesuatu yang dari sana sudah siap: ia pun "hasil" dari pembedaan, dari perbedaan. Segala yang ada mendapatkan identitasnya, karena ia berbeda, dan segala sesuatu yang ada selalu berada dalam situasi dibandingkan dengan yang lain. Beda sebab itu tak bisa diringkus. Dalam bahasa Jawa, beda bisa berarti "lain", tapi juga bisa berarti "usik", tetapi usik yang mengandung keasyikan dan permainan. Dengan kata lain, sesuatu yang tak bertujuan "ada hasil". Beda tak punya teleologi.
Sekitar 30 tahun yang lalu Emmanuel Lévinas berbicara tentang le visage de l'autrui. Ia berbicara tentang "wajah" (le visage). Ia berbicara tentang bagaimana [orang] yang lain hadir di depan dan dalam diri kita secara konkret, tak dapat diabstraksikan, tak dapat dirumuskan, sebab senantiasa melampaui apa yang saya katakan dan saya pahami tentang dia. Lévinas berbicara tentang l'autrui, atau yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai liyan, yang berarti "apa yang berbeda" tetapi juga berarti "manusia yang lain". Bagi Lévinas, dalam pertemuan dengan dan pengakuan akan le visage de l'autrui itulah terjadi saat-saat etis manusia. Kita tak bertemu dengan kehendak akan "ada hasil". Kita bertemu dengan dan dalam sesuatu yang (dalam sebuah kata Melayu yang indah) "tak tepermanai", infinite.
Tapi juga di sini ada yang mengusik: dalam hidup ada yang tak tepermanai, tapi ada juga yang perlu yang terbatas, dan sebab itu keras. Tina pun dibunuh. Zein pun dipenjarakan. Keadilan sering menghendaki, seperti dilukiskan dalam simbol, sebuah timbangan. Keadilan sering menghendaki ada standar yang seragam, ibarat dacin. Keadilan-dalam-dacin adalah beda yang dihentikan. Dalam keadilan, akan selalu hadir pihak ketiga.
Namun di setiap Desember selalu ada orang yang bertanya: siapa yang diwakili oleh sang mahkamah, oleh pihak ketiga? Benarkan ia mewakili sesuatu yang bisa diterima oleh semua pihak? Dengan kata lain: sesuatu yang universal? Ataukah yang universal itu hanya hasil kemenangan dari mereka yang hadir dan bicara sebanyak-banyaknya? Tiba-tiba terasa ada kebutuhan, mungkin kerinduan, terhadap "yang sama". Bahkan dalam bahasa Melayu, antarmanusia juga disebut sebagai "sesama". Dan kita pun menemukan dunia.
Dunia adalah percaturan "sesama" yang berbeda-beda itu. Lebaran dan Natal tersiar luas dalam lagu, dalam kartu, dalam benda-benda yang melintas batas karena uang dan perniagaandengan aneka warna, tapi juga dengan satu corak yang sering telah jadi bermiripan. Mungkin di situ beda yang relatif, yang tak mutlak, mengusik dan mengasyikkan. Bukan kebencian, amarah dan pembunuhan. Bukan untuk nafsi-nafsi, tapi juga bukan kekerasan untuk menghabisi yang berbedamenenggelamkan "infinitas" ke dalam "totalitas," menenggelamkan apa yang tak tepermanai ke dalam apa yang bulat, tunggal, utuh, pejal, mandek, seragam, kejam.
Goenawan Mohamad