Tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di depan Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah.
Bila lembaga-lembaga agama memusuhi syair, itu karena mereka lupa bahwa puisi juga sejenis doa. "Di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling," tulis Chairil Anwar pada saat yang paling religius. Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang tersuram, adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.
Sebab itu Tuhan tak pernah meninggalkan metafora. Tiap metafora menampakkan betapa melarat dan betapa ulungnya bahasa manusia. Seorang penelaah sastra Arab menyebut "metafora" semakna dengan isti'ara, yang secara harfiah konon berarti "meminjam". Manusia, makhluk pembuat majas, penyusun perumpamaan dan kiasan, adalah makhluk yang meminjam dan meminjami. Ketika "Tuhan" digambarkan dengan pintu dan "Nasib" dikatakan menimpa manusia, kita lihat bagaimana kata meminta bantuan dari kata lain yang jauh untuk menyampaikan maknadan sering memperolehnya secara tak disangka-sangka. Metafora adalah sebuah lompatan "meminjam", terbang ulang-alik antara yang abstrak dan yang konkret, ketika yang abstrak terasa perlu diwujudkan dalam suatu kias atau gambar yang dapat dicerap pancaindra.
Pernah orang berdebat haruskah kalimat kitab suci ditafsirkan secara harfiah; dengan kata lain, sejauh mana bahasa bisa menjamin kesetiaan makna. Tapi orang lupa bahwa bahasa, juga yang dianggap pilihan Tuhan, adalah bahasa yang dibentuk oleh kekurangan dan keinginan, oleh ingatan dan lupa, oleh keharusan merawat dan menerobos, oleh kebersamaan dan kesendirian. Metafora adalah hasil dari tendensi yang bertentangan itu, karena sejarah, tempat bahasa diolah, adalah kontradiksi yang tak selesai. Tiap bahasa di atas bumi berakar seperti pohon jati dan melangit seperti bintang beralih. Gambaran verbal tentang Tuhan, juga kutipan Sabda-Nya, mau tak mau berangkat dari dunia kata-kata yang terikat, meskipun bergerak untuk menyambut yang tak tepermanai.
Simbol saja akhirnya tak memadai. Simbol berangsur-angsur digantikan "tanda", tulis Julia Kristeva pada tahun 1966. Abad Tengah berakhir di Eropa dan agama Kristen bertemu dengan masyarakat yang tak bisa lagi menerima simbol. Simbol adalah perwujudan yang dibangun untuk mengacu ke suatu obyek dengan makna yang tetap, tapi stabilitas ini hanya mungkin karena ia dibantu sejenis "hukum". Lampu merah, tanda salib, huruf dalam alfabet: tafsir tentang semua itu ajek dan tunggal. Tapi kemudian datang zaman ketika simbol harus bersaing dengan "tanda". "Lampu merah" bukan hanya isyarat berhenti, tapi juga tanda daerah pelacuran. "Salib" makin terpisah dari kisah kesengsaraan Yesus; ia juga tampak di bendera nasional. Huruf tak lagi hanya tanda fonetik: "f" bisa berarti gulden, sebagaimana "T" berkait dengan "T-shirt"
Simbol mulai kehilangan monopolinya, ketika klaim Gereja sebagai satu-satunya penafsir hal ihwal tak diterima lagi. "Sampai tahun 1350," tulis Kristeva, "adalah Sabda, dalam sosok Yesus Kristus, yang menciptakan dunia." Setelah Sabda tergeser, muncul "tanda"diwakili gambar "seorang tua yang mengukur bumi dengan kompas dan melontarkan surya serta bintang-bintang ke langit". Sabda yang kekal kehilangan dayanya ketika manusiayang menempuh waktu dan kefanaanjadi pusat wacana dan pemberi makna yang bisa berubah dan beragam.
Setelah otoritas Sabda tergeser oleh tanda yang lalu-lalang di tiap pojok, makna pun tak terbentuk lagi dari hubungan secara vertikal. Sebuah tanda tak lagi ditentukan dengan penuh wibawa oleh kandungan "makna" yang ditandainya. Setelah Abad Tengah berakhir di Eropa, makna justru terbentuk dalam mata rantai horizontal: kita menangkap apa arti "salib" setelah kita tahu ia di pucuk gereja dan bukan di mobil ambulans.
Demikianlah simbol digantikan tanda, dan di Eropa lahirlah novel, begitulah kata Kristeva. Bentuk novel (dan bukan khotbah) memang sebuah kancah tempat pelbagai suara, pelbagai tanda, bertabrakan dan cepat lewat. Kristeva benar, tapi sebenarnya ada contoh yang lebih tua yang tak dilihatnya: antara Sang Sabda dan puisi, telah berlangsung ketegangan sentrifugal yang tak habis-habis.
Ketegangan antara Sabda (sebagai pusat) dan puisi (yang membebaskan diri dari pusat) terutama terjadi dalam sejarah kesusastraan Arab. Mungkin semua ini bermula karena Quran, dengan ungkapannya yang puitis, tumbuh sebagai teks di lingkungan tempat puisi dirayakan dalam bentuk lisan. Adonis, penyair asal Suriah itu, dalam An Introduction to Arab Poetics, terjemahan ceramahnya di College de France pada tahun 1984 mengutip al-Jurjn, seorang teoritikus sastra dari abad ke-10: menulis puisi adalah "sejenis pembangkangan", kata al-Jurjn, "kimia yang membuat sebuah argumen yang meragukan berhasil mendapatkan wibawa pembuktian, dan mengubah bukti jadi argumen yang tak meyakinkan".
Puisi memang tak menjanjikan pusat dan stabilitas apa pun. Tafsir sebuah teks yang kreatif selalu "dinamis, eksplosif, dan tak terbelenggu", kata Adonis. Teks yang kreatif tak putus-putusnya menggetarkan karena ia membangun imaji dan bukan simbol, karena ia menggugah dan tergugah rasa takjub, karena ia, untuk memakai kata-kata Ibnu Sina tentang puisi, paduan takhyil dan ta'jib.
Bersalahkah puisi? Pernah disebutkan, syair adalah benda yang dikutuk. Tampaknya ada saat ketika kutuk cepat diucapkan dan beriman berarti mengambil sikap "aku sudah tahu"dengan wajah yang pasti dan masam. Wajah masam adalah wajah yang menolak untuk menyambut hidup sebagai sesuatu yang istimewa.
Sikap itu bisa menang. Tapi hanya yang menerima hidup sebagai sesuatu yang istimewa, sesuatu yang menakjubkan, akan menulis puisi dan/atau mengucapkan doa.
Goenawan Mohamad