Saya pernah menonton tujuh biji film porno di sebuah bioskop kecil di sebuah kota Eropa. Hari itu terik, musim panas. Berdua dengan A., dulu teman sekuliah, saya memutuskan pergi ke situ karena kami ingin tahu, sembari berteduh, menghabiskan waktu, menunggu sebuah pertemuan yang telat.
Di ambang pintu bilik kami sisipkan uang receh, lalu kami masuk.
Film pertama mulai. Saya membelalak. Film kedua menyusul. Saya mulai tak membelalak. Film ketiga seperti ulangan film sebelumnyadan sampai film terakhir saya tertidur. A. juga.
Noel Coward benar. "Saya tak menganggap pornografi merusak, tapi sangat, sangat membosankan."
Coward pantas mengatakan itu sebab ia tahu bagaimana membuat sesuatu yang tak membosankan. Ia menulis Blithe Spirit pada tahun 1941 (terjemahan Indonesia: Arwah-Arwah Binal), dan di West End, wilayah teater London itu, tiap malam komedi itu dipanggungkan lagi, lagi, dan lagi sampai pada tahun 1970. Sementara itu, di sebelah lain London, di Soho, toko-toko seks tak mampu selamanya mengundang pelanggan. Daya tariknya tergusur, kini kafe dan restoran bermunculan di jalan itu.
Pornografi memang mudah dibuat tapi mudah pula hambar. Sebab ia praktis hanya sebuah repetisi. Fokusnya tetap: bukan manusia dengan karakter yang berbeda dan gejolak jiwa yang berubah, melainkan organ tubuh yang sudah bisa diramalkan geraknya, terbatas variasi dan kemungkinannya.
Tapi memang, manusia butuh sesuatu untuk memenuhi hasrat erotiknya, dan karya-karya cabulseperti halnya fantasi sendiridiguna-kan, biarpun buat beberapa menit. Riwayatnya panjang, meskipun sejarah itu bukan hanya kisah syahwat dan ke-kotoran.
Di puing Pompeii, kota yang tertimbun lahar Gunung Vesuvius pada tahun 79, ditemukan sejumlah besar fresko, mosaik, dan patung yang menggambarkan laku seksual secara terang-terangan, terutama di Lupanare, bangunan yang dulu jadi tempat pelacuran. Ada sebuah mosaik gambar satir menyetubuhi peri, ada pula sebuah mural yang menampilkan Dewa Merkuri dengan zakar yang mengekar setengah meter.
Seksualitas dilebih-lebihkan dahsyatnya di bordil itu, dan kita bisa menduga kenapa: di sini syahwat, dan bukan cuma berahi, yang ditanggapi. Tapi pada masa lain, dalam konteks yang berbeda, adegan senggama tak hanya berkait dengan prostitusi.
Di jantung tanah India, di Negara Bagian Madhya Pradesh, berdiri candi Khajuraho. Dibangun antara tahun 950 dan 1050, ketika imperium Chandela berkuasa, kompleks itu terdiri dari 85 bangunan. Kini hanya 22 yang tinggal.
Kata sahibul hikayat, sang pendiri Khajuraho berbapak di langit. Pada suatu malam, Hemavati, gadis jelita putri seorang brahmana, mandi di Sungai Rati. Datanglah dewa rembulan merayunya. Hubungan badan terjadi dan kemudi-an lahirlah seorang anak, Chandravarman. Diperlakukan buruk oleh masyarakat, ibu yang tak bersuami itu menyisih ke rimba, dan ia besarkan anaknya di sana.
Anak ini kemudian mendirikan sebuah kerajaan, dan suatu hari baginda Chandravarman bermimpi: ibunya meminta agar ia mendirikan candi yang dapat menyatakan gairah hasrat manusia.
Kita tak tahu sejauh mana cerita itu bukan hanya sebuah dalih untuk memiliki sesuatu yang asyik dilihat. Di India tak sedikit kuil yang memaparkan sugesti seksual tanpa cerita se-perti itu. Candi Meenakshi di Madurai dan Veeraranarayan di Gadag bahkan sejak di gapuranya terpahat erotika.
Apa pun sebabnya, relief tubuh telanjang dan persetubuh-an seperti yang tampak di Khajuraho tak bisa disamakan dengan yang ditemukan di Pompeii: di candi India ini stili-sasi sangat dominan, dan betapapun eksplisitnya adegan erotik itu, yang lebih hadir adalah gairah dalam ritme dan komposisi. Syahwat hanya samar, tersirat dalam lekuk dan lengkung. Berahi larut dalam hasrat akan keindahan.
Bukankah itu juga yang terasa dalam karya I Made Budiarta yang melukiskan Syiwa yang menyamar sebagai petani dan melihat kain Dewi Sri tersingkap, dan tampaklah phalus sang dewa meregang? Kehalusan hadir di lukisan Bali itu di tiap garis. Kehalusan menguasai ruang. Zakar yang tegak dalam semak itu seakan-akan hanya aksen yang lain dari suasana. Di kanvas itu, yang jasmani adalah bagian arus liris alam.
Agaknya di situlah beda antara pornografi dan erotika, antara bluefilm produksi Vivid dan The Dreamers karya Bertolucci, antara gambar persetubuhan di Pompeii dan relief di Khajuraho, antara foto-foto majalah Hustler dan lukisan Bali, antara paparan novel picisan dan novel Jalan Tak Ada Ujung atau Supernova.
Tapi tampaknya tak tiap orang gampang merasakan beda itu. Seorang sastrawan Indonesia pernah berkata, "Saya tak menyukai wayang dan Mahabharata karena terlalu banyak seks di sana". Ia mungkin akan terguncang jika ia baca Serat Centhini, karya sastra Jawa abad ke-19 yang panjang itu. Di sana ungkapan syahwat dan berahi praktis hanya terkendali oleh bentuk tembang.
Ada orang yang memang tak akrab dengan khazanah budaya yang menerima berahi sebagai bagian degup hidup yang punya misterinya sendiri, antara gelap dan lepas, antara gairah dan gumun. Ada orang yang acuan budayanya tak kenal kemeriahan warna dan rupa, tak merayakan bentuk yang tampak dan teraba, dan memandang tubuh manusia dengan penuh syak.
Puritanisme, yang terkadang muncul di kalangan Kristen dan muslim, mencerminkan itu. Di bawah undang-undang Calvin di Jenewa pada abad ke-16, orang diharamkan menari, menyanyi, melukis, mematung, mementaskan dan menonton teater. Berpakaian "tak senonoh" dihukum. Hal yang hampir sama berlaku di Arab Saudi kini, di bawah kekuasa-an kaum Wahabi.
Namun akhirnya Jenewa tetap tak jadi kota suci dan di Arab Saudi orang tetap bisa berpura-pura suci. Puritanisme tak bisa selama-lamanya. Sebab baginya gairah tubuh ha-nya punya satu kemungkinan: berdosasebagaimana dalam pornografi ia hanya punya satu kemungkinan: orgasme.
Hanya satu kemungkinan. Bagaimana mungkin?
Goenawan Mohamad