-- Kepada Amien Rais Seandainya saya dalam peran Anda sekarang, seandainya saya ada di pucuk sebuah lembaga tertinggi negara, saya akan jeda dari adu siasat dan kata-kata. Saya akan menonton Crouching Tiger, Hidden Dragon. Dan saya akan kembali dari bioskopdari adegan perkelahian yang tangkas dan fantastis ituseraya berpikir: pada akhirnya bukan jatuhnya seorang musuh yang menyebabkan kita menang. Sebab apa arti menang? Apa arti kalah? Pada akhirnya, Li Mu Bai, pendekar pedang yang ulung itu, memang berhasil membunuh si Rubah Giok,perempuan gagah yang telah mengkhianati sang guru. Pada akhirnya Mu Bai menuntut balas, suatu hal yang diam-diam dikehendakinya, juga ketika ia menyatakan bahwa ia akan meninggalkan pedang. Pada akhirnya pertemuan terjadi, hampir secara kebetulan, dan pertempuran tak terelakkan. Si Rubah Giok rubuh. Tapi apa lacur: ia telah sempat melontarkan sebatang jarum beracun ke arah Mu Bai. Jarum itu menusuk lehernya. Pelan-pelan ia pun tewas. Ia juga sesuatu yang harus hilang setelah klimaks. Dalam arti tertentu ia kalah: ia gagal untuk bertahan hidup dari racun itu. Ia memang telah membunuh si Rubah Giok. Tapi akhirnya penjahat itu tak tampil dengan keji; di saat ajalnya, kita jadi tahu bahwa wanita pesilat ini pada dasarnya seorang yang hidup dengan hati kecewa: seorang yang menyayangi Jen, gadis bangsawan yang berbakat itu, tapi seorang yang juga sakit hati kepadanya. Dalam pedih oleh luka, lumpuh dan kalah, ia mengulurkan tangan kepada perempuan muda yang telah dilatihnya bertahun-tahun tapi juga akhirnya ingin dibunuhnya itu: "Jen, satu-satunya keluargaku, satu-satunya musuhku." Apa arti kalah? Li Mu Bai dalam arti yang lain justru menang. Sejak semula, suspens cerita ini bukan terletak dalam adegan silatnya. Keunggulan suspensnya terletak justru dalam "laku menahan diri". Mu Bai, diperankan oleh Chow Yun Fat, praktis tidak seperti tokoh film silat yang lazim: ia tak mengayunkan pedang di baris terdepan. Yang lebih muncul adalah teman seperjuangannya, wanita yang dicintainya, Yu Shu Lien. Juga Jen, anak gubernur yang ternyata memiliki "macan yang merunduk, naga yang sembunyi" dalam dirinya: sebuah bakat bersilat yang luar biasa, yang sudah terlatih sampai jauh. Dibandingkan dengan kedua perempuan itu, Mu Bai hadir mirip bayang-bayang. Tapi dengan menahan diri itu ia menunjukkan bagaimana, dari tenaga tempur seorang pendekar ulung, tiap gerak adalah ibarat bukan gerak. "Siapa yang bersijingkat tak akan dapat berdiri," begitulah tertulis dalam kitab pertama Tao te-ching. Mungkin sebab itu sutradara Ang Lee menampilkan tiap adegan perkelahian dalam filmnya mirip sebuah nomor balet: elegan, gemulai, tanpa gocohan brutal. Tiap hantaman menunjukkan satu detachment antara rasa dan sasaran. Maka kita pun melihat dengan takjub adegan perang tanding di atas pucuk-pucuk bambu rimbun yang lentur itu: sebuah pameran kecanggihan ginkang yang telah menjadi sebuah koreografi yang cantik. Maka Crouching Tiger sebenarnya sebuah cerita cantik tentang menahan diri. Bahkan sampai saat terakhir hidupnya, Mu Bai tak menuntut apa-apa dari cintanya yang dalam dan sia-sia kepada Shu Lien. Memang ada yang melodramatis dalam bagian cerita ini, tapi ada yang konsisten dalam sikap tanpa pamrih itu: "Aku lebih baik jadi roh yang terkutuk yang mengembara di sampingmu, ketimbang memasuki surga tak bersama kamu," bisiknya, dengan bibir melemah, kepada Shu Lien, beberapa menit sebelum napas terakhirnya habis. Ia ingin memberikan segalanya yang terbaik, sampai saat penghabisan, kalau ia bisa. Memberikan, melepas: juga ia tak mengharapkan kemenangan ketika ia menghadapi Jen, gadis 19 tahun yang panas dan penuh petualangan itu. Sembari menangkis sambaran pedang pesilat muda itu, Mu Bai bahkan mengaguminya, dan mengundangnya untuk jadi muridnyasesuatu yang oleh orang lain bisa ditafsirkan sebagai siasat seorang lelaki yang berahi belaka, seorang lelaki yang ingin mendapat, bukan memberi. Tapi bagaimana mungkin? Bahkan Mu Bai membiarkan pedangnya yang masyhur itu, "Suratan Hijau", terlempar ke dalam jeram. Ia takmemerlukannya lagi. Begitu angkuhkah ia, hingga ia tak butuh senjata yang piawai, tak butuh pula cinta yang terpenuhi dan kemenangan yang telak? Mungkin bukan angkuh; tapi, sekali lagi, satu detachment, satu sikap yang melepaskan diri dan mengambil jarak batin dari pamrih, ambisi, kemenangan perang, dan dunia benda
. Kini mungkin Anda akan bertanya: apa guna semua celotehan ini? Bagaimana bisa seorang yang berada di pergulatan politik disamakan denganseorang pendekar dalam cerita-cerita wu-xia? Saya ingin menjawab: bisa sajabagi seseorang yang menyukai cerita silat. Memang medan politik bukan medan para johan dan pendekar. Tapi politik bisa mengambil tamsil dari cerita yang ditulis oleh Wang Du Lu di tahun 1930-an ini: kemenangan diri adalah kalahnya diri, bahkan sebelum seseorang mengangkat pedang. Gerak adalah bukan gerak, kehadiran adalah bayang-bayang, dan melepas adalah mendapatkan. Tidakkah Anda merasa, Mas Amien, bahwa Anda sering tak mengerti tamsil itu? Goenawan Mohamad
Wu-Xia
Oleh
Tempo.co
Senin, 9 April 2001 00:00 WIB