ADA seorang Rusia yang mencemooh dengan pahit negerinya sendiri: "Konstitusi kami adalah kekuasaan mutlak yang diperlunak oleh pembunuhan."
Ia salah, tapi ia benar. Ia salah sebab tak ada pembunuhan yang bisa memperlunak apa pun, apalagi sebuah kekuasaan. Tapi ia benar karena hanya dengan membunuh sang penguasa yang tanpa batas, manusia bisa menunjukkan bahwa yang tanpa batas tak pernah ada di dunia ini. Meskipun Tuhan mendukungnya.
Di Rusia, Tuhan dan agama memang ada di sisi maharaja yang bertakhta di Kremlin dan disebut "Tsar". Sejak awal tahun 1500, padri agung Gereja Ortodoks Rusia memberi fatwa bahwa Tsar memerintah bukan karena kebetulan. Tsar berkuasa dengan hak yang datang dari Tuhan.
Penguasa pertama yang menerima kehormatan dari Langit itu adalah Ivan IV Vasileyevich, yang duduk di Moskwa pada pertengahan abad ke-16. Tsar ini memerintah dengan memperluas wilayah dan memperkukuh kuasanya, dan ia bisa melakukan apa saja. Ia punya tujuh istri, meskipun agama melarang itu. Ia membunuh anak kandungnya sendiri, hanya karena si anak membantahnya. Di wilayah yang dikuasainya langsung, di oprichnina, ia membasmi orang yang ia anggap musuh sampai keluarganya punah. Tuhan, yang menurut Gereja telah membuat Ivan penguasa absolut, telah melahirkan Ivan yang Mengerikan ke dalam sejarah Rusia yang sedih dan getir.
Dan tak cuma Ivan. Sederet Tsar lain pun bertakhta, ratusan tahun, sampai sistem yang tua itu runtuh oleh Revolusi Bolsyewik pada tahun 1917. Di hari berdarah itu, Tsar Nicholas II dan keluarganya dibunuh, dan komunisme berkuasa. Tapi Nicholas II bukan wakil Tuhan pertama yang menemukan akhir secara demikian. Pada tahun 1881, Tsar Alexander II tewas oleh bom yang diledakkan kaum anarkis.
Tampaknya, ketika orang tak bisa menghentikan seseorang dari takhtanya (karena Tuhan-lah yang menunjuknya), yang tanpa batas pun akan diberi batas dengan kekerasan, bukan dengan konstitusi. Orang Rus yang tak diketahui namanya itu benar: "konstitusi" yang berlaku adalah "kekuasaan mutlak yang diperlunak pembunuhan."
Tak cuma orang Rusia sebenarnya yang menyaksikan hal itu. Di Jazirah Arab, hampir 1.000 tahun sebelum Tsar pertama naik takhta di Rusia, dari Mekah Umar bin Khattab memimpin kehidupan masyarakat muslim yang mulai tumbuh sebagai sebuah kesatuan politik. Ia orang yang dikenal adil, tapi kekuasaannya berakhir dengan darah. Pada bulan November 644, seorang muslim asal Persia yang diberi nama Abu Luluah menikamnya di enam tempat.
Umar bukanlah khalifah terakhir yang posisinya selesai dengan tubuh yang luka pedang. Penggantinya, Utsman bin Affan, yang menjadi khalifah dalam umur 70 tahun, juga berakhir riwayatnya karena pembunuhan. Hal yang sama terjadi pada Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu Nabi. Ia menggantikan Utsman. Tapi setelah melalui konflik yang cukup pedih dan panjang, pada bulan Januari 661, ia diserang seseorang dari kalangan khawarij ("mereka yang melepaskan diri"), yang dulu mendukungnya tapi kemudian menentangnya, lantaran kecewa. Tubuh Ali luka-luka dan jasadnya kemudian dimakamkan jauh di Kota Nejjef, Irak.
Dengan kata lain, tiga dari empat "Al-Khulafa Al-Rasyidin" itu bukanlah cerita yang sepenuhnya gilang-gemilang. Benar, mereka adalah orang yang masih sangat dekat dengan Muhammad saw. Benar, tak ada satu pun di antara mereka yang mengklaim kekuasaan mutlak dan tumbuh menjadi semacam Ivan yang Mengerikan. Ketulusan hati mereka menjadi bahan cerita yang tak pernah putus. Tuhan tentu dekat ke hati mereka. Namun Tuhan, Nabi, dan iman ternyata tak bisa sepenuhnya masuk ke dalam diri manusiawalaupun si manusia pernah hidup di dekat Muhammad saw. Manusia bukanlah sebuah botol kosong. Dalam dirinya ada isi yang menyebabkan di Mekah pada abad ke-7 atau di Jakarta pada abad ke-21, ia tak bisa sama sekali lepas dari apa yang lazim berkecamuk dalam politik: selalu ada persaingan, iri, kekejaman, bahkan peperangan. Dalam sejarah Islam, peperangan bahkan terjadi antara dua tokoh yang paling dekat dengan Nabi: Ali, sang menantu, yang melawan Aisyah, sang janda.
Bagaimana mengelola persaingan dan konflik ituitulah soalnya. Dari riwayat di atas tampak bahwa tak ada konstitusi yang siap menjawab. Seandainya Quran memberi rumus dan hadis menawarkan jalan, Ali dan Aisyah tak perlu angkat senjata, Umar tak perlu ditikam, dan Utsman tak akan menyebabkan konflik.
Kenyataan ini sebenarnya telah dibentangkan pada tahun 1990, ketika terbit pertama kalinya telaah Munawir Sjadzali yang penting, Islam dan Tata Negara. Di sana Munawir melacak dan membahas pemikiran politik Islam sejak abad ke-6 sampai abad ke-20, sejak Jazirah Arab sampai Kepulauan Indonesia. Kesimpulannya jelas, tapi mungkin mengecewakan mereka yang pernah yakin bahwa Islam siap dan lengkap buat semua hal: penelitian Sjadzali menunjukkan bahwa Islam ternyata bukan saja tak mengatur persoalan suksesi dan legitimasi.
Malah tak pasti pula benarkah ajaran Islam mendukung demokrasi. "Islam tak usah demokrasi 100 persen, bukan pula otokrasi 100 persen," kata Moh. Natsir, tokoh besar Islam modernis Indonesia dari pertengahan abad ke-20, sebagaimana dikutip Munawir Sjadzali. Menurut Natsir, "Islam itu ya Islam."
Dengan kata lain, pintu perdebatan lebih lanjut pun tertutup. Pengertian "Islam" menjadi misteri yang tak akan terpecahkan oleh siapa pun. Juga "konstitusi Islam", juga "negara Islam". Tak mengherankan bahwa hanya dengan mistifikasi, ide "negara Islam" menjadi dimimpikan, dan hanya dengan mistifikasi, ia menjadi menakutkan.
Goenawan Mohamad