API dan pembersihan: agama tampaknya gemar meng-gunakannya buat menegakkan kuasa. Juga di Jawa pada awal abad ke-15.
Tersebutlah Pangeran Panggung dalam Serat -Kandha. Ia seorang putra Kesultanan Demak yang meninggalkan kehidupan istana dan menampik segala hal yang bersifat duniawi. Pada masa awal Islam di Jawa itu ia me-milih hidup di daerah Randu Sanga. Dalam legenda ten-tang dirinya disebutkan bahwa nafsu serakah (yang da-lam tembang ini disebut "luamah") dan nafsu amarah telah dilepas dari dirinya dan menjelma jadi sepasang anjing dengan nama Iman dan Tokid.
Pangeran Panggung berada di luar arus kekuasaan wak-tu itu, juga di luar derap syariat Islam yang hendak dite-rap-kan para wali. Pertentangan klasik antara sang mistikus dan para penegak hukum agama kembali kita lihat di sini: bagi Panggung, sembahyang rutin itu justru jadi tirai (aling-aling) yang membatasi manusia dari pengetahuan tentang nilai yang lebih utama; juga berpuasa dan ber-zakat- akhirnya hanya jadi berhala, meng-gantikan sikap sujud sejati kepada yang Maha Agung.
Dari sepercik ajaran Pangeran Panggung yang di-terjemahkan oleh D.A. Rinkes dalam Nine Saints of Java tampak, bukan kejelasan- dan ke-pas-tian (dua sifat yang mendasari fikih) yang harus dipegang. Sebab kekaburan dan ketakpa-s-tian adalah nasib manusia. Bila "melihat" ber-arti meletakkan hal ihwal dalam fokus yang stabil, "tak-melihat" adalah kondisi dari kerendahan hati yang sesuai dengan hidup.
Sebenarnya tak jelas seberapa kuat dan luas pengaruh ajaran ini. Tapi bisa jadi ia tak asing: semangatnya akrab dengan pemikiran yang hidup di masyarakat Jawa sejak zaman Buddha-. Yang pasti para wali penegak Islam waswas. Mereka menghadap Trenggana, raja ketiga Demak, dan meminta agar pangeran yang aneh itu dihukum.
"Baginda," sembah Sunan Bonang, "apa kehendak tuan-ku berkenaan dengan kakak paduka, Pangeran Panggung? Caranya bertentangan dengan ketertiban sosial. Ia ja-di najis oleh kedua anjingnya, Iman dan Tokid, yang ia bawa bahkan ke masjid. Hukum akan kehilangan wibawa. Jika tindakan mendasar tak diambil, lembaga sosial dan keagamaan akan hancur."
Sultan Trenggana pun bertanya, "Lalu apa hukuman-nya?"-
"Dia harus dibakar hidup-hidup," sahut Sunan Bo-nang.
Maka unggun disiapkan. Pangeran Panggung pun dipanggil ke ibu kota. Ia datang setelah kedua anjingnya diperbolehkan ikut. Kemudian sesuatu yang ajaib terjadi: sementara nyala api mulai menjulang, sang pangeran menyuruh Iman dan Tokid masuk ke dalamnya memungut sebuah tumpeng nasi. Mereka meloncat ke tengah unggun yang berkobar-kobar itudan semua hadirin takjub, sebab kedua hewan itu tak terbakar sedikit pun. Kegaiban apakah gerangan ini?
Melihat itu, Baginda minta agar Pangeran Panggung tak melawan. Yang dihukum bersedia. Ia hanya minta se-botol dawat dan selembar kertas. Di tengah api yang berkecamuk itu, sang pangeran duduk, dengan sabar meng-gubah sebuah kitab suluk berbentuk puisi. Akhirnya ia roboh, tewas bersama Iman dan Tokid.
Setelah api padam, buku itu diambil petugas dan diserah-kan kepada Baginda.
Kisah ini, yang terdapat dengan beberapa variasi dalam buku-buku lain, mungkin tak sepenuhnya terjadi sungguh-sungguh. Tapi seperti kisah Syekh Siti Jenar dan Ki Among Raga, di dalamnya si terhukum mati tampil bukan sebagai si jahat. Bila ia menampik melaksanakan syariat, sebab syariat baginya hanya sesuatu yang lahiriah. -Sebuah syair Melayu yang dikutip Rinkes mengibaratkan ibadah sebagai nyiur dan syariat sebagai hanya kulitnya:
Kulit-nya itu ibarat shari'atTempurung-nya itu ibarat tarikatIsi-nya itu ibarat hakikatMinyak-nya itu ibarat ma'rifat
Dalam Serat Kandha tampak bahwa para wali lebih tertarik dengan bagian "kulit" itu. Mereka lebih merepot-kan "ketertiban sosial" dan "lembaga", yang tentu saja hanya bisa ditegakkan dengan "Hukum". Hukum berarti ke-kuasaan; tak mengherankan bila para wali beraliansi dengan Raja.
Namun pada akhirnya apa arti kekuasaan? Apa keberhasilan tindakan para penjaga "ketertiban" dan "lembaga sosial dan agama" itu? Apa yang bisa dijangkau syariat?
Kisah Serat Kandha mengisyaratkan bahwa apiyang dapat dipakai sebagai lambang tenaga yang terang tapi bisa bengis dan destruktiftak sepenuhnya berhasil mem-buat terang kegaiban seorang manusia yang dengan tenang bisa me-nulis puisi di tengah panasnya latu. Unggun yang bernyala-nyala itu tak dapat membersihkan ruang hi-dup dari mereka yang dianggap "ganjil": seorang pange-ran yang menampik dunia dan mengelakkan aturan agama dan sepasang anjing yang dianggap najis. Pembakaran itu tak dapat menjadikan yang lain, yang berbeda, jadi rata, tak bisa dibedakan dari semesta arang dan abu.
Bahkan dari sana lahir buku puisi. Pangeran itu tak per-nah takluk.
"Jika engkau tak mengenali Tuhan," kata al-Hallaj me-nurut Kitab al-Tawasin, "setidaknya kau kenali tanda-Nya. Akulah tanda itu." Lalu orang alim yang dihukum ma-ti para ulama dan penguasa di Bagdad pada tahun 922 itu pun menyatakan: "Dan aku, meskipun dibunuh dan disa-libkan, dan meskipun tanganku dan kakiku di-potong-aku tak mencabut kata-kataku."
Api dan pembersihan: semua itu akhirnya hanya tanda- ke-pongahan dan ketak-sabaran yang sia-sia. Menarik bahwa dalam syair Melayu yang dikutip di atas, lambang- bagi tingkat tertinggi penghayatan manusia tentang keilahian ("makrifat") adalah "minyak", sesuatu yang terletak di lapis daging nyiur dan nyaris tak tampak. Minyak kelapa tak berkobar-kobar. Sebagai sesuatu yang cair, ia menyesuaikan diri. Ia juga memberi: ia beri kita rasa lezat dan gizi, ia bisa menyembuhkan, dan ia dapat jadi sumber pelitasebuah cahaya yang tak berpretensi bisa menaklukkan gelap.
Goenawan Mohamad