Amsterdam: di antara lorong berliku di sekitar kanal-kanal itu, sebuah sudut memajang pelacur satu-satu di etalase-etalase sempit, perempuan-perempuan muda yang duduk atau berdiri seperti boneka toko pakaian dengan kutang terus-terang dan rok minimal. Mereka menanti pelanggan di bawah lampu merah yang redup. Sebagian dengan paras putus asa.
Amsterdam tak mengutuk Rossen Buurt, wilayah lampu merah yang berkaitan dengan zina itu. Sejak 500 tahun yang lalu para lelaki (mula-mula para kelasi) dari pelbagai bangsa datang melepas syahwatnya di bandar ini. Kini tempat itu bahkan tampak lumrah. Terletak tak sampai sekilometer dari Istana Ratu, Rossen Buurt juga menderetkan toko video porno dan pertunjukan cabul, di antara warung pizza dan kedai kopi, bar dengan iklan bir, teater homoseksual dan hotel pas-pasan-sebuah tanda bahwa pada akhirnya dosa (bukan persoalan baru) -bukanlah urusan kantor wali kota.
Dari jembatan yang menyeberangi salah satu kanal di sisi lama kota itu tampak Oude Kerk, "Gereja Tua", seperti hantu Gothis. Dibangun pada abad ke-13, ia kini bukan lagi tempat ibadah, tapi ruang konser dan pameran tahunan World Press Photo: ia juga saksi bahwa kota ini, dengan agama atau bukan, akhirnya tak dapat memusnahkan kecabulan. Amsterdam bahkan memanfaatkannya, memasarkannya atau memajak hasilnya. Pada akhirnya, yang karnal dalam tubuh tak dapat diringkus sepenuhnya oleh yang rohani. Amsterdam adalah sebuah pengakuan, bahwa manusia memang gampang salah sangka tentang dirinya sendiri.
Pernah ada semangat yang meluap-luap dari Zaman Reformasi. Juga waswas dan ke-taksabaran. Pada abad ke-16 itu Amsterdam dikuasai kaum borjuis yang membawa kapitalisme dan kemakmuran-. Tapi juga sikap cemas. Apa boleh buat: di sini orang hidup di tanah yang lebih rendah ketimbang permukaan air laut, selalu merasa laknat Tuhan akan datang dalam bentuk air bahsebuah perasaan yang kian akut ketika mereka ber-ada dalam gelimang kekayaan. "Geografi moral" orang Belanda, tulis Simon Schama dalam The Embarrassment of Riches, sebuah sejarah negeri itu di masa keemasannya pada abad ke-17, "terapung-apung antara takut dilanda banjir dan harapan akan penyelamatan moral, antara pemenuhan selera dan pengingkarannya, antara ambisi keduniawian dan kesahajaan hidup rumah tangga."
Mungkin itu sebabnya ajaran Calvin diterima dengan mudah. Pada pertengahan abad ke-17, Spinoza (ia kelahiran Amsterdam) menyamakan orang-orang Calvinis dengan kaum Farisyi dalam sejarah Bani Israel: seperti mereka, orang-orang Farisyi mendesakkan sikap taat kepada kemurnian ajaran. Mereka ingin agar ukuran hukum- Tuhan dipakai buat kekuasaan politik. Mereka cemas akan nasib dan fiil manusia. Tapi tak urung, seperti dikecam Yesus, mereka bermuka dua. Ketika kemurnian tak pernah akan tercapai tapi tak henti-hentinya dituntut, hipokrisi pun tak dapat dielakkan.
Amsterdam akhirnya tahu: mustahil untuk habis-habisan menuntut kemurnian. Tiap ruang kota, seperti kata Lefevbre, terdiri dari scene dan obscene: ada kebersih-an, kerapian, keagungan yang dipertontonkan, tapi ada juga kejorokan yang aib. Amsterdam adalah sebuah pragmatisme: ia mengelola yang tak murni, yang aib, sebagai sesuatu yang beda dan siapa tahu berguna.
Yang beda memang pernah dianggap dosa, terutama ketika kekuasaan sebuah negeri membiarkan diri berilusi bahwa rahmat Tuhan akan datang bila penghuninya bergabung dalam satu iman yang "benar".
Di Eropa, ilusi "satu-iman" itu dimulai pada abad ke-16. Waktu itu Imperium Suci Romawi dan ideologinya rontok. Benua itu terpecah-pecah, pertumpahan darah antara pendukung Gereja Katolik dan para penganut Protestan-tisme berkecamuk. Dari retakan itu beragam negara-bangsa, bahkan kekuasaan kota yang tersendiri, tumbuh. Dalam wilayah politik yang lebih ciut itu terbit anggapan bahwa sebuah negeri dan masyarakatnya dapat disatu-padukan dengan mudahseperti yang kini mungkin disangka para pembuat peraturan daerah di Indonesia pada masa desentralisasi.
Demikianlah di Prancis semboyan yang diteriakkan (tentu saja oleh penganut agama mayoritas, orang Katolik) adalah "une loi, un roi, une foi". Kaum Protestan ("Huegenot") tak dianggap bisa bergabung dalam asas "satu hukum, satu raja, satu iman" itu. Di Jene-wa pada abad ke-16 Calvin menjalankan ide kesatuan yang paralel: di kota Protestan ini menjadi Katolik berarti harus dihukum mati, dan pada 1542-64 tercatat 58 orang dieksekusi karena itu.
Jenewa bahkan membinasakan kebhi-ne-ka-annya sendiri dengan lebih galak. Di kota yang berpenduduk 10.000 jiwa itu selusin se-sepuh warga dan selusin pastor memantau dengan seksama- perilaku para penghuni. Kota itu merumuskan diri dengan larangan. Berjudi, main kartu, mabuk-mabukan, dan mengucapkan sumpah-serapah tentu saja diharamkan, tapi juga menari, menyanyi, membuat lukisan, patung, mementaskan dan menonton teater. Memakai pakaian yang dianggap "tak senonoh", termasuk memakai permata dan gincu, berarti melanggar aturan. Para pezina harus dihukum mati.
Sejarah kemudian menunjukkan bahwa Jenewa, se-bagai-mana Calvinisme, berubah. Kota itu tetap membosan-kan, tapi setidaknya lebih rendah hati: ternyata ia tak bisa mengikuti model "kota Tuhan", ternyata hidup bukan sebuah biara, tapi sebuah pasar malam.
Amsterdam merayakan pasar malam itu dengan lebih riuh. Bukan hanya dengan seks di sudut Rossen Buurt, tapi juga dengan konser dan teater, museum sejarah dan seni rupa, buku sastra dan penemuan ilmu, percakapan filsafat dan agama, olahraga dan minum-minumpendeknya, dengan jadi sebuah kota yang biasa dalam sukacita dan kebosanan, iman dan godaan, ambisi dan rasa syukur. Dalam pasar malam itu, ia kota yang tak gentar menerima manusia.