Hari itu 5 Oktober 1945. Tak seorang pun agaknya yang ingat vejk. Atau tak seorang pun di antara para pemuda yang bertekad mendirikan angkatan perang untuk Republik Indonesia yang baru berumur dua bulan itu yang pernah membaca vejk, Prajurit Baek.
Kita tahu kenapa. Waktu itu Indonesia sedang bertolak dengan keyakinan seorang pemuda tanggung; ia belum tahu bahwa banyak hal sebenarnya perlu diolok-olokjuga perkara yang mulia dan luhur: tanah air, tuhan resmi, tentara nasional. Seingat saya, vejk, sebuah prosa yang penuh cemooh, baru dikenal di Indonesia pada 1950-an, ketika Republik sudah mulai senyum kecut dan novel itu diterjemahkan.
Karya satire Jaroslav Haek ini terbit dalam bahasa Cek pada 1923. Inilah kisah Josef vejk, seorang prajurit yang ikut dalam Perang Dunia Isebuah perang yang bagi Haek bukan cuma brutal, tapi juga sia-sia dan tak beralasan.
Agar mudah membayangkan sosok vejk, kita lihat ilustrasi Josef Lada yang menyertai novel ini sejak awal: si prajurit berumur sekitar 40, tambun dan sedikit buncit perutnya, dengan hidung yang mencuat seperti sosis goreng. Seluruhnya kaku. Alkisah, dengan antusias ia mendaftarkan diri di dinas militer. Tapi ia begitu dungu sehingga tak jelas benarkah ia mau berjuang atau justru hendak mengacaukan tentara Kerajaan Austro-Hungaria dari dalam, saking pandirnya.
Ada situasi absurd dalam tiap novel "picaresque", dalam tiap kisah petualangan si kebayan. vejk, Prajurit Baek sering dianggap sebagai novel anti-perang, tapi yang diolok-olok bukanlah kekerasan besar itu. Bahkan tak ada adegan pertempuran dalam karya Haek ini. vejk memunculkan sesuatu yang lebih tak masuk akal, kocak saking absurdnya, dan menakutkan: birokrasi tentara.
Mesin manusia inilah yang membuat seorang serdadu seperti vejk jadi sebutir bola lembek yang ditendang ke sana-kemari di sebuah pertandingan yang edan.
Tapi bisa juga dikatakan bahwa Haek tak cuma bicara tentang itu. Semua organisasi besar jadi bulan-bulanannya, dan semua oknum yang terlibat ditertawakannya: dari maharaja, pendeta, sampai pejabat rendah, semua ditampilkan tak becus, atau teler, atau berpikir sempit dan rasialis. Tentu saja mereka mengatakan mereka menjalankan tugas. Tapi atas nama tugas pula mereka bisa agresif, baik dengan kata maupun dengan perbuatanterutama terhadap anak buah.
Walhasil, dalam vejk, Negara terjadi karena hasrat menciptakan tertib, dan tertib itu berarti kepatuhan. Sifat "baik" pun sama dengan sikap "tunduk". Tapi Haek menunjukkan, dengan tertawa geli, bahwa hasrat penaklukan itu cuma ilusi. Si vejk dikatakan sebagai prajurit yang "baik", tapi ia tetap mencong ke sana-kemari, hingga di sini saya lebih suka menyebutnya bukan "baik", tapi "baek".
Para penguasacontoh yang paling mencolok adalah para pembesar militerselalu tak insyaf bahwa mereka sebenarnya dibatasi sejarah. Negara tak datang dari langit. Ia dibangun oleh tangan dan kaki manusia dalam sebuah ruang dan waktu terbatas. Ia tak ajeg dan tak kekal. Tapi, lebih dari itu, ia juga ditopang oleh riwayat kekerasan. Legitimasinya didasarkan pada sebuah masa lalu yang sebenarnya tak legal, bahkan ganas.
Legenda Roma adalah paradigmanya: kota itu dibangun oleh Romus dan Romulus, tapi Roma praktis terjadi setelah Romus membunuh saudaranya itu. Indonesia (juga Amerika Serikat, Cina, India, atau mana saja), pun berdiri lewat permusuhan, penyingkiran, dan pemaksaan sesama saudara.
Tentu saja tak sepenuhnya sejarah adalah kisah yang berdarah. Setelah kekerasan, lahirlah simbol, mitos, dan seluruh produksi wacanayang sering dirancang untuk mengukuhkan diri.
Satu cerita dalam vejk adalah kisah prajurit Marek. Sukarelawan ini diberi tugas menulis sejarah batalion tempat ia bergabung. Ia pun sibuk menuliskan tindakan heroik batalion itu tapi lebih dahulu, sebelum perang sebenarnya terjadi.
"Sebutkan nama seorang sersan mayor di kompi 12," kata Marek sambil merancang karya sejarahnya. "Houska? Bagus. Nanti dalam pertempuran kepala Houska akan copot kena ranjau. Kepalanya akan terlontar, tapi tubuhnya akan berbaris maju satu atau dua langkah, membidik dan pesawat musuh itu jatuh."
"Historiografi" seperti itu tentu saja menggelikan, sebab kelihatan bagaimana Marek merancang agar akal sehat dan imajinasi diperkosa.
Tapi Negara dan legitimasinya tak pernah kekal. Yang disusun Marek akan rontok. Akan muncul seorang Haek yang tak mau terkesima wacana resmi. Bukan maksudnya menuliskan sejarah tandingansebab sejarah tandingan juga bisa tergoda dusta. Seperti Idrus dalam novel Surabaya, yang mengisahkan kembali hari-hari pertempuran November 1945, seorang Haek mungkin akan menulis yang lain tentang 5 Oktoberdan membuat kita arif: siapa saja yang dengan mesin dan wacana mencoba membuat kita "baik", paling-paling hanya akan membuat kita gagal memenuhi rumusnya; kita hanya jadi "baek".