Seandainya Obama seorang perempuan.
Tentu saja ia bukandan ini bisa dikatakan sebagai sebuah kekurangan. Tapi nobody's perfectseperti kata si jutawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika diberi tahu bahwa orang yang digandrunginya itu ("Daphne" yang sebenarnya adalah Jerry) ternyata laki-laki.
Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perempuan, kemarin, atau besok. Sebab bahkan sekarang pun ia sudah merupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai) identitas. Ia contoh bahwa "identitas" bukanlah sebuah cap yang kekal dan kaku. Dalam kata pengantar edisi tahun 2004 untuk bukunya The Dream of My Father, Obama sendiri menyebut "the fluid state of identitythe leaps through time, the collision of culturesthat mark our modern life." Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari tubuhnya sendiri: bahwa identitas selalu dalam keadaan cairciri zaman ini.
Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wajar menunjukkan bahwa politik tak bisa hanya mengibarkan panji-panji partikularisme, dengan politik identitas yang menegaskan apa yang istimewa pada "kami" dan tidak pada "mereka". Politik pada akhirnya sebuah proses pencarian dan penyampaian apa yang universal. Politik adalah suatu pergulatan antarkelompok yang terdorong membentuk "kita".
Obama tak bermula dari "kami" yang pasti. Orang berkata, pria yang hari-hari ini sedang ikut bersaing untuk jadi calon Partai Demokrat buat jabatan Presiden Amerika Serikat adalah orang kulit hitam pertama yang berhasil naik ke gelanggang setinggi itu. Tapi sebutan black bagi Obama berlebihandan sekaligus kurang. Ia tak sehitam Mohammad Ali, Stevie Wonder, atau Jesse Jackson.
Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Malah, jika kita percaya hasil penelitian trah oleh The New England Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada dalam garis keturunan seorang raja Skotlandia pada abad ke-12.
Tapi sementara itu ia juga seorang "Afro-Amerika" dalam pengertian yang harfiah. Ayahnya, Barrack Hussein, datang dari suku Luo di Provinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing di Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dunham.
Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Honolulu, 4 Agustus 1961. Tapi, ketika ia berumur dua tahun, orang tuanya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu ekonominya di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Kenya yang berambisi tinggi itu kembali ke tanah kelahirannya. Bagi si anak yang tertinggal di Hawaii, ia jadi seorang ayah yang tak dikenal. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah berumur 10. Barrack tua kemudian tewas dalam kecelakaan mobil pada 1982. Sang ayah jadi nama yang menandai kehilangan dalam diri anaknya.
Dalam kehilangan itulah pengertian "Afro-Amerika" yang harfiah berubah. Makna lain kemudian mengisi lubang itu, dan sejak itu Obama memandang dirinya sendiri secara lain. Berkat ibunya.
Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia masuk lembaga legislatif, pemuda separuh Kenya ini menyebut dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria. Tapi yang agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama mereka hidup di Jakarta.
Ibu itu, Annseorang perempuan yang dibesarkan dengan pandangan yang tak konvensionalmenikah dengan seorang mahasiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Pada 1967 keluarga itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan, Maya.
Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an adalah masa pergolakan di Indonesia, ekonomi masih berat, dan kepastian belum tampak. Sedikit yang kita ketahui tentang ayah tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk memasukkan Barrack ke The Jakarta International School. Maka Barrack (biasa disebut "Barry") bersekolah di sekolah negeri di Jalan Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk mendapat pendidikan yang lebih baik di Amerika.
Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu, dan harus bangun pukul 4 pagi untuk itu. Sang ibu tak hanya mengajarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr Martin Luther King, juga kisah tentang anak-anak hitam yang terjepit di Amerika Serikat bagian selatan. Dari sinilah Barry memilih apa arti "Afro-Amerika" baginya: bagian dari perjuangan pembebasan dari diskriminasi rasial, keterbelakangan, dan ketersisihan orang hitam berabad-abad.
Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itudan ia tumbuh jadi seorang pemuda dengan kulit hitam yang tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan hak-hak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menempuh jalan yang lebih luas terbentang. Tapi ia sudah bertindak, dengan bekerja di komunitas hitam di Chicago. Ia memasuki sejarah Amerika yang baru.
Kini ia tengah ikut membuat sejarah itusebuah sejarah yang pernah bernoda oleh larangan bagi orang hitam untuk berada di satu sekolah, satu bus, dan satu tempat kencing dengan orang kulit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternyata bisa mengembangkan diri.
Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum yang paling di pinggiran bisa bergerak masuk ke tengahdan ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang menunjukkan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesalahannya sendiri, yang telah memilih pemerintahan Bush yang menumbuhkan antagonisme "kami" dan "mereka" di mana-mana.
Obama (terutama jika ia menang) adalah sebuah indikator lebih kuat, bahwa demokrasi Amerika membuat antagonisme tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri. Demokrasi itu sendiri proses perubahan. Pada abad ke-21, Amerika Serikat bisa berhenti jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi.
Goenawan Mohamad