Negeri ini paling banyak punya polisi. Di darat, di laut, di udara, di hutan, di kota, ada polisi. Ada polisi bersenjata, dan karena itu dulu polisi jenis ini termasuk angkatan bersenjata. Setelah angkatan bersenjata diganti jadi tentara, mereka berdiri sendiri.
Inilah polisi yang sebenar-benarnya polisi, karena ada struktur yang jelas. Mereka ada di darat, di laut, di udara--yang ini saya tak tahu apa tugasnya. Yang saya tahu, markasnya, antara lain, di Pondok Cabe, tempat yang sering saya lewati.
Selain polisi yang sebenar-benarnya polisi, ada satuan lain yang entah kenapa disebut polisi. Misalnya polisi hutan. Mereka kadang membawa pistol untuk diletuskan di tengah hutan kalau ada penebangan liar. Kalau tak salah, polisi ini termasuk organ dari Dinas Kehutanan. Tugasnya mengawasi hutan lindung. Tapi juga membuat pos di tepi jalan di desa-desa dekat hutan. Jika ada penduduk yang menjual kayu bakar ke kota, wajib mendapatkan surat keterangan di sini bahwa kayu bakar itu bukan dari hutan lindung. Tentu surat itu ditebus dengan uang. Bahwa uangnya masuk ke kas negara atau kantong pribadi, saya tak pernah hirau.
Yang lagi top saat ini adalah polisi pamong praja. Awalnya, polisi yang lahir di Yogyakarta pada 3 Maret 1950 ini tidaklah sepenting sekarang. Tugasnya lebih pada menangani ketertiban dan keamanan dalam lingkungan kantor pemerintah daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuat polisi pamong praja menjadi sangat penting. Polisi ini ditugasi menegakkan peraturan daerah, menyelenggarakan ketertiban umum serta ketenteraman masyarakat. Tugas lainnya, menyelenggarakan perlindungan masyarakat--biasa disingkat linmas--yang tak pernah jelas apa saja perincian tugasnya itu.
Itulah polisi-polisi yang resmi, dilihat dari namanya. Yang tak resmi masih ada, misalnya polisi moral. Yakni sekelompok orang--baik terorganisasi maupun tidak--yang suka melakukan razia dan sekaligus menghukum orang-orang yang dinilai merusak moral, menurut ukuran kelompok itu. Di Bali juga dikenal polisi adat. Nama resminya pecalang, yang tugasnya membantu kelancaran jalannya upacara adat dan agama. Namun karena sering kebablasan bertugas dan membuat jengkel--menutup jalan seenaknya tanpa memikirkan ada-tidaknya jalan alternatif--masyarakat menambahkan kata polisi sebagai ungkapan kesal.
Lalu ada polisi dalam arti kiasan. Inilah polisi yang paling jujur di bumi, yaitu polisi tidur. Satu lagi, patung polisi, yang awalnya untuk menakut-nakuti pengemudi, tapi kemudian jadi bahan olok-olok betapa tak cerdasnya pembuat patung itu.
Di luar sebutan polisi, masih ada institusi yang punya tugas mengamankan masyarakat. Ada Pertahanan Sipil (disingkat Hansip), yang seragamnya keren. Di kampus, ada Menwa (Resimen Mahasiswa), yang juga bertampang agak galak, setidaknya beda dengan tampang mahasiswa biasa. Adapun di kantor-kantor swasta dan pertokoan, ada satpam (satuan pengamanan), juga berseragam dan galak.
Begitu banyak polisi dan sejenis polisi, tapi negeri ini tak pernah tertib dan tenteram. Jangan-jangan ada yang tumpang-tindih. Kalau sudah tumpang dan tindih, bagaimana bisa menjalankan tugasnya dengan baik? Polisi ini jadinya tak mengatasi masalah, justru membuat masalah. Bijak sekali jika ada kajian, sebagian dibubarkan saja--termasuk patung polisi. Biarkan polisi negara menjadi satu-satunya instansi yang menertibkan dan mengamankan masyarakat. Pertanggungjawaban pun mudah diminta, kan pimpinannya berpangkat jenderal. Setuju?