SEPASANG orang tua memutuskan membuat tes kecil untuk anak remaja laki-lakinya. Pasangan tersebut khawatir, anak mereka satu-satunya itu belum juga memilih profesi untuk masa depannya.
Pasangan itu lalu menyediakan tiga macam barang: lembaran uang kertas, kitab suci, dan sebotol minuman keras. Si ayah punya firasat, kalau anaknya mengambil uang maka dia akan menjadi pengusaha. Kalau pilih kitab suci, tentu dia akan menjadi pemuka agama. Kalau pilih botol minuman keras? Dia kelak menjadi pemabuk.
Kedua orang tua itu bersembunyi di balik tirai. Apa yang dilakukan si anak? Dia masukkan lembaran uang ke dalam dompet. Kitab suci ia tenteng dengan kalem, sementara tangan yang satu lagi mengambil botol minuman keras. Tiga benda itu ia ambil sekaligus dan cepat menghambur pergi ke luar rumah.
Pasangan itu memekik, Waduh.... Ini lebih buruk dari yang kita bayangkan. Anak kita akan jadi politikus!
Saya percaya, humor adalah cermin sesuatu yang dirasakan masyarakat. Tapi saya tak tahu mengapa masyarakat di tempat humor itu lahir begitu sinis kepada politikus. Masyarakat kita belum tentu sama sinisnya kepada politikus. Buktinya, banyak orang berebut menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kalau perlu dengan mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk merebut simpati pemilih.
Tapi belakangan ini, setelah melihat lagak-lagu politikus Senayan membangun solidaritas untuk membela seorang anggota DPR yang diperiksa polisi, jangan-jangan mulai banyak orang Indonesia yang melarang anaknya menjadi politikus.
Misbakhun, anggota Dewan asal PKS, menyandang status sebagai saksi plus tersangka kasus surat utang perusahaan miliknya, PT Selalang Prima Internasional. Sebelum diperiksa polisi, Bakhun secara terbuka seperti meminta perlindungan Komisi III DPR dan menganggap kasus yang menimpa dirinya sarat muatan politis.
Kira-kira jalan pikiran Bakhun begini. Karena dia dulu inisiator kasus Century, sekarang ini pemerintah mencari-cari kesalahannya, seakan hendak balas dendam. Mayoritas anggota Komisi III memang tak terharu oleh pernyataan Misbakhun. Tapi dua anggota Dewan---Lily Wahid dan Akbar Faisaltergerak untuk ikut mendampingi Misbakhun di Markas Besar Kepolisian. Sejumlah anggota Dewan juga menyatakan akan tetap membela Misbakhun, apa pun yang terjadi.
Anggota Dewan pasti tahu rekannya belum tentu bebas dari masalah hukum. Tapi jangan-jangan ada kolega Misbakhun yang berpikir, kalau kelak dia diperiksa penegak hukum, rekannya juga akan menggalang solidaritas yang sama.
Terserah Anda mau bilang ini solidaritas model apa: sempit, ngawur, atau kacau-balau? Bila solidaritas kita artikan semacam tali sosial yang mengikat satu orang dengan yang lainnya, kenyataan yang kita alami sehari-hari sudah sangat membingungkan.
Seorang pejabat Orde Baru yang diisukan terlibat kasus korupsi besar-besaran, eh, malah merebut banyak suara dan menjadi bintang politik. Dia yang masih punya kewajiban segunung kepada negara malah kebanjiran tamu saat menggelar hajat. Di Batam, solidaritas sakit hati yang dipicu ucapan kasar pekerja asing akhirnya berujung pembakaran pabrik. Di Jakarta, solidaritas instan bisa mendadak terbentuk, misalnya untuk mengadili maling di jalanan.
Tak ada alasan untuk kecil hati. Toh masih ada solidaritas koin untuk Prita dan Bilqis. Ada juga yang instan, tanpa komando, tanpa aba-aba. Bila ada pengendara sepeda motor di Jakarta yang mengalami tabrakan, seketika itu juga pengendara motor yang lewat akan berhenti dan menolong korban sampai ke rumah sakit serta mengamankan barang-barangnya.
Barangkali tak ada lagi anggota DPR yang sehari-hari naik motor ke Senayan. Tapi sungguh tak ada salahnya belajar dari solidaritas pengendara motor itu.