Putu Setia
Orang Bali dikesankan lagi resah. Penyebabnya adalah ulah gigolo--anak kecil di Pantai Kuta menyebutnya orang bego gila--yang selama ini gentayangan di pantai, bisa jadi aktor populer. Wajah mereka tiap hari muncul di layar televisi, diambil dari cuplikan film Cowboys in Paradise.
Film dokumenter ini karya Amit Virmani, seorang pelancong yang tinggal di Singapura. Karena film ini berkisah tentang sisi gelap kepariwisataan di Bali, yaitu kehidupan para gigolo, banyak tokoh kebakaran jenggot. Tempat tinggal sang sutradara juga cepat menjadi penyulut terbakarnya jenggot itu, meski para tokoh yang resah tersebut tak berjenggot.
Film ini sengaja ingin merusak image pariwisata Bali, kata sejumlah orang. Ya, Virmani tentu menjelek-jelekkan Bali karena Singapura kalah bersaing dalam menggaet turis asing yang batal ke Thailand, kata pemilik hotel. Film ini dibuat tanpa prosedur, tak ada izinnya, kata Gubernur Bali. Sang sutradara bisa dihukum pidana. Kami sudah minta bantuan Interpol karena Indonesia dan Singapura tak punya perjanjian ekstradisi, kata juru bicara kepolisian.
Pokoknya, film yang mudah diunduh di Internet ini sudah menjadi running news--demikian menurut jurnalis televisi lokal. Stasiun televisi nasional pun menayangkan kasus ini berulang-ulang dengan mencuplik adegan dalam film itu sampai memuakkan. Untunglah, belum ada anggota DPR yang berceloteh. Kalau saja ada, ucapannya mungkin begini: Cowboys in Paradise hanya mengalihkan isu Bank Century.
Betulkah orang Bali resah? Ah, tidak. Saya sudah memancing pertanyaan lewat sandek (pesan pendek di telepon seluler), dan jawaban yang saya terima: gpp--jika dipanjangkan, maksudnya gak apa apa. Para aktor di film itu wajahnya tak asing bagi penggemar Kuta. Mereka tiap hari di sana karena pekerjaannya melatih surfing, menyewakan alat surfing, dan--ini sisi sosialnya--memberi petunjuk kepada orang di mana nyebur yang aman dari sergapan ombak.
Soal gigolo dan turis cewek, memang cerita lama. Banyak yang mengakui hal itu ada, termasuk pemuka adat di Kuta. Saya pun kadang percaya. Tapi saya tak yakin bahwa gigolo yang asli adalah gigolo dalam Cowboys itu. Saya ditipu, saya bukan gigolo, kata salah satu dari tiga aktor Cowboys itu di kantor kepolisian.
Apa iya, film secuil ini merusak pariwisata Bali? Ditelaah dari sisi mana pun, saya tetap yakin, film ini tak punya pengaruh apa-apa, baik pada dunia wisata Bali maupun pada citra Bali. Jika wisatawan bisa dipilah, ada tiga kelompok. Wisatawan kelas A, uangnya banyak, belanjanya banyak. Mereka tinggal di Nusa Dua, Jimbaran, Sanur, di hotel dan resor berbintang. Mereka ini bukan pengunjung Kuta, mobilnya saja tak bisa masuk. Tur mereka diatur biro perjalanan, di mana makan, di mana belanja, apa saja yang dikunjungi.
Kelompok kedua, sebut kelas B. Mereka wisatawan religius, tinggal di vila atau pondok wisata pedesaan, berlatih yoga, meditasi, mencari keheningan di alam yang asri. Menetapnya bisa lama, tetapi belanjanya minim--wong kebanyakan vegetarian. Lalu kelompok ketiga, sebut kelas C, itulah penggemar Kuta. Mereka tinggal di hotel tanpa lihat bintang, sewa sepeda motor keluyuran ke mana-mana, belanja di mana saja dia mau.
Pemasukan terbesar untuk pemerintah dan pengusaha--dari pajak dan sebagainya--tentu dari kelompok A, namun yang langsung dirasakan rakyat Bali adalah dari kelompok B dan C. Cowboys in Paradise tak akan menohok kelompok A dan B, sementara bagi kelompok C, film itu justru jadi ajang promosi. Jadi, kenapa resah?