Putu Setia
Ketika penyiar televisi berkata, Kami segera kembali melaporkan ricuh musik dangdut di Probolinggo, aku menekan remote. Tak ada gambar apa pun lagi di layar kaca. Negeri ini semakin kacau, rusuh, menyebalkan. Tapi, anehnya, aku tak pernah berhenti memikirkannya, aku mengeluh.
Istriku tak bereaksi. Sudah tujuh berita ditayangkan, semua tentang kejelekan. Mahasiswa Makassar membakar ruang kuliahnya, perang suku di Papua, banjir di Lumajang, bonek Persebaya bentrok, anggota DPR terdakwa korupsi, polisi pamong praja dilempari pedagang, teroris ditembak mati. Masih berlanjut ricuh pentas musik dangdut. Waduh, negeri yang bobrok, aku semakin keras mengeluh, supaya istri mau peduli.
Benar, istriku mengambil remote. Wajah negeri tergantung di remote ini, suaranya pelan. Lalu ia pencet tombol: Itu mahasiswa menciptakan prototipe mobil hemat bahan bakar. Ia pencet lagi tombol: Wah, pentas Nyai Ontosoroh yang mengagumkan dari Sita RSD, lebih bagus dari Happy Salma yang lalu. Lagi pindah tombol: Anak yang cerdas beradu dalam kuis. Pindah tombol lagi: Ha-ha-ha..., Parto masih lucu di Opera Van Java.
Indonesia begitu damai, kata istriku sambil melemparkan remote ke dadaku, pas ketika di layar ada langgam keroncong dari TVRI--musik yang mungkin sudah lima tahun tak kudengar, dari stasiun yang kukira sudah bubar.
Tidurlah, kata istriku. Tak mau ngantuk, jawabku. Aku lagi berpikir memperbaiki negeri ini dan bertanya siapa yang memimpin sekarang, SBY atau ARB? Istriku membentak: Nama aslimu kan SBY juga, Setia Bagus Yudana. Kamu saja yang memimpin mulai malam ini. Dan orang akan memanggilku Nyonya Ani SBY.
Wkwkwk (artinya aku tertawa, ini bahasa gaul di Facebook). Oke, sekarang aku mendeklarasikan diri sebagai presiden, dengar wahai cicak dan buaya. Ibu Negara, apa saranmu malam ini kepada Bapak? aku mulai berteater, profesiku ketika jadi penganggur puluhan tahun yang lalu.
Istriku jadi centil: Presiden, tolong bebaskan buaya, eh, maksudku Susno Duadji, dari tahanan. Ia sudah rela berkorban dengan dicopot dari jabatannya selaku Kabareskrim Mabes Polri walaupun ia tidak memiliki kaitan tanggung jawab langsung dengan penanganan kasus Bibit-Chandra. Ia sudah menjalani pemeriksaan di Itwasum Polri dan dinyatakan tidak bersalah.
Stop, aku memotong. Kok Ibu lancar ngomongnya, panjang lagi." Istriku tetap main drama. Lo, ini kan surat istri Susno untuk kita yang dikirim terbuka ke media massa. Please, Presiden, lepaskan dia.
Ibu, itu urusan polisi. Bapak tak mau intervensi. Banyak masalah di negeri ini. Ada lumpur Lapindo yang akan menenggelamkan Sidoarjo, mbok itu diberi saran.
Memangnya mau terima saran lumpur Lapindo? Tak takut sama ARB, eh, siapa ya dia? Bapak bukannya membela rakyat Sidoarjo, malah mengajak orang wisata ke lumpur. Bapak bukannya membela Jeng Sri, malah menjadikan ARB perdana menteri siluman. Bapak tak percaya diri. Ingat, Bapak menang di putaran pertama, rakyat lebih percaya Bapak.
DPR lagi galak, Bu. Mereka selalu menyerang dengan dalih rakyat, jawabku. Istriku nyerocos: Rakyat yang mana? Itu kan main klaim. Sudah nyata suara rakyat kepada Bapak. Bapak jangan mengalah kepada lawan politik. Memang, dari banyak kelemahan Bapak, salah satunya lupa membangun jaringan televisi, padahal itu jadi corong propaganda maupun provokator. Di sini ARB memang hebat, selain partainya punya pengalaman melahirkan sekretariat bersama era 1960-an. Dan itu mau didaur-ulang sekarang--eh, ARB itu siapa, Ibu ikut-ikutan saja kok.