Putu Setia
Anggito adalah Abimanyu yang sebenar-benarnya di negeri ini, sekarang. Seperti ayahnya, Arjuna, Abimanyu adalah kesatria penerus Pandawa yang kemayu, polos, tak banyak cakap, tapi cerdas. Mungkin karena ia seniman karawitan alias musik, ia tak pernah menggugat. Dalam ephos Mahabharata, Abimanyu gugur sebagai tumbal dari kebimbangan orang tua dan paman-pamannya dalam Bharatayudha.
Anggito Abimanyu adalah tumbal yang sebenar-benarnya dalam perang politik di negeri ini, sekarang. Dalam posisi sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, ia dipilih menjadi Wakil Menteri Keuangan. Kontrak politik sudah ditandatangani, dan pelantikan sudah diumumkan, 6 Januari 2010. Kemudian, orang tahu, Anggito batal dilantik.
Alasan pembatalan adalah pangkat tak memenuhi syarat. Jabatan wakil menteri setengah politis setengah karier. Karena Anggito menyandang nama Abimanyu, saya menduga dia tak peduli akan pangkat, karena Abimanyu dalam Mahabharata tak pernah menuntut apa pangkatnya, ia hanya berpikir tentang kerja.
Sampai di sini saya membayangkan, betapa buruknya administrasi Negara di negeri ini. Anggito, ketika ditawari jadi wakil menteri dengan segala proses seleksinya, tentu dilihat atau setidaknya didengar oleh pembantu Presiden. Lo, kok tak ada yang membisiki Presiden bahwa Anggito tak memenuhi syarat?
Oke, soal buruk, banyak yang buruk--tapi mari kita tetap mencintai negeri ini. Kisah saya teruskan, Anggito pun mengurus kepangkatannya. Sepuluh tahun mengabdi sebagai eselon satu, tentu aneh kalau pangkatnya tak memenuhi syarat. Syahdan, hanya sekitar seminggu, pangkat itu terpenuhi. Tapi tak ada satu pun kabar yang ia terima setelah itu, apakah jabatan wakil menteri tetap diberikan atau tidak. Adakah presiden dan pembantu presiden bimbang, sebagaimana Arjuna yang bimbang menjelang Bharatayudha?
Saya tak tahu, yang saya tahu adalah gosip yang mengabarkan terjadinya berbagai intrik politik untuk menggagalkan Anggito sebagai wakil menteri. Tuduhan yang berat, tapi tak pernah dibuktikan, Anggito condong ke partai politik tertentu. Masalahnya, Anggito adalah Abimanyu, tak pernah menanyakan hal ini kepada ayahnya, berbilang bulan sehingga masalah menggantung.
Tibalah saat itu. Gonjang-ganjing politik membuat Sri Mulyani mundur sebagai Menteri Keuangan. Kesempatan bagi presiden untuk mencari pengganti Srikandi ini, sekalian mengangkat wakil menteri--supaya satu paket dilantik. Menjelang pengumuman menteri dan wakilnya, Anggito banyak menerima ucapan selamat dari sahabatnya. Para sahabat ini tentu berakal sehat: bukankah jabatan itu pernah diumumkan untuk Anggito, bukankah syarat pangkat sudah dipenuhi, bukankah sejak Januari sampai Mei tak pernah ada pembatalan dari istana--baik pemberitahuan lisan maupun tertulis?
Ternyata, akal sehat kalah. Wakil menteri dijabat kolega Anggito, bukan dirinya. Anggito pun memilih mundur dari gelanggang. Ada harga diri dan martabat yang jauh lebih mulia dari jabatan. Dunia kecewa, pemimpin kehilangan etika yang paling dasar, yang oleh orang Jawa disebut diwongke. Apa salahnya memberi tahu Anggito bahwa ia tak jadi diangkat sebagai wakil menteri, toh alasan bisa dicari-cari.
Seorang menteri koordinator membujuk Anggito agar tak jadi mundur, atau menawarkan jabatan lain. Saya terbahak-bahak. Abimanyu bukan Bhuto Cakil, juga bukan anak kecil yang kehilangan permen lalu diberi cokelat. Anggito memang lebih baik pulang ke Yogya--dan Sri Mulyani ke negeri seberang--karena perang Bharatayudha belum berakhir.