Putu Setia
Ketika Arjuna membentangkan panah membidik seekor burung, Krishna bertanya: Burung apa yang kaubidik? Arjuna menjawab tegas: Burung tekukur, Guru. Krishna tersenyum: Itu bukan tekukur. Itu burung gagak.
Arjuna tak melepaskan anak panahnya: Ya, benar, benar Guru, itu burung gagak. Lagi-lagi Krishna tersenyum: Bukan gagak, Arjuna, kau salah. Ternyata itu burung sempati. Arjuna lalu batal memanah dan meminta maaf. Betul, itu burung sempati, katanya.
Apakah satria Pandawa ini tak tahu jenis burung? Tak bisa membedakan tekukur yang bersuara indah dengan gagak yang menakutkan, apalagi burung sempati yang dikenal sebagai burung suci. Persoalan tidak di sana. Arjuna sangat takut kepada Krishna. Ia kehilangan integritas diri dan bahkan tak memiliki apa pun yang semestinya ia miliki, jika sedang berada di samping guru spiritualnya.
Apakah Anas Urbaningrum, tokoh muda yang santun, kehilangan integritas dan kecerdasannya ketika ia berhasil merebut jabatan Ketua Umum Partai Demokrat? Terlalu awal untuk menilai, meskipun saya cemas hal itu akan terjadi melihat sinyal yang keluar. Ia, misalnya, berani menantang siapa pun pesaingnya dengan cara-cara yang bermartabat. Tetapi, begitu menyangkut nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarga, Anas bagaikan Arjuna, tak bisa membedakan mana tekukur dan mana gagak.
SBY bagi Anas adalah belahan pikiran, lihat pernyataan Anas: Garis SBY adalah garis saya. Ketika ada aspirasi yang tak jelas sumbernya, yang menyebut kemungkinan Ani Yudhoyono dijadikan calon presiden oleh Partai Demokrat pada Pemilu 2014, Anas berkata: Saya tidak ingin menutup kemungkinan itu. Padahal SBY sendiri pernah bilang tak menyiapkan istrinya untuk menggantikannya.
Begitu pula niat Anas yang menggebu menjadikan Ibas sebagai Sekjen Partai. Kesannya, lebih mencari muka kepada SBY. Semua orang tahu, Ibas belum punya jam terbang cukup untuk menjadi sekjen.
Orang berharap Anas membangun kepemimpinan baru di negeri yang langka pemimpin berkualitas ini. Ketenangannya, wajahnya yang menyejukkan, kecerdasan yang dimiliki, dan pengalaman memimpin ormas mahasiswa terbesar di Tanah Air, membuat orang tidak cemas menatap Indonesia ke depan. Anas layak dijadikan ikon untuk alih generasi kepemimpinan. Karena itu, jika ia bisa bebas dari jebakan takut kepada bayang-bayang SBY, harapan bertumpu pada Anas--otomatis citra Partai Demokrat juga terangkat. SBY tentu masih layak dijadikan panutan, tempat meminta pendapat dan arahan, namun tak berarti Anas memposisikan diri sebagai boneka, seperti Arjuna yang jadi boneka Krishna, tekukur disebut gagak, mengangguk.
Arjuna pun sejatinya bukan orang bego--itulah kenapa kitab Mahabharata dijadikan hikayat suci. Arjuna sadar, guru spiritualnya adalah Awatara--penjelmaan Tuhan yang turun ke bumi pada situasi tertentu, sebuah keyakinan dalam Hindu. Krishna adalah Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kekuasaannya maha, yang menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Dengar kata Arjuna kepada Krishna: Guru adalah Tuhan itu sendiri, yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Jika Guru berkehendak tekukur menjadi gagak, jadilah dia gagak, tak ada kekuatan lain yang menghalangi.
Dan kita tahu, SBY bukanlah Awatara. Beliau manusia biasa, punya kelebihan dan pasti juga memiliki kelemahan. Anas harus memilahnya, kelebihan mana yang layak diteruskan dan kelemahan mana yang harus berani dilawan. Ini urusan bangsa yang besar, bukan sekadar urusan burung tekukur dan burung gagak.