Putu Setia
Saya bertamu ke Romo Imam saat beliau asyik dengan laptopnya. Seperti ada masalah, dia menggeser-geser mouse. Mengunduh video 13 mega kok lama, katanya. Kupu-kupu itu mengasyikkan dan memberi gairah hidup.
Saya heran dengan ulah orang yang saya kagumi ini. Namun saya hati-hati bereaksi: Romo, kita sudah tua, tak sepatutnya mengunduh video mesum. Lagi pula belum tentu itu Luna Maya. Kan dia sudah membantah punya tato kupu-kupu.
Giliran Romo memelototi saya. Ini bukan video mesum. Ini kupu-kupu liar di kampung lereng gunung itu. Dulu, profesor Nagasaki dari Universitas Tsukuba memvideokannya, dan Romo dikirimi hasilnya lewat Internet.
Saya diam dan menyesal. Saya terserang penyakit curiga.com. Maklum, sebelum ke padepokan ini, saya mampir di warung Internet dan menyaksikan tujuh pelajar sekolah menengah sedang membahas tato kupu-kupu di tubuh Luna Maya.
Romo akan menyampaikan aspirasi ke wakil rakyat dari daerah ini, kawasan kupu-kupu liar itu harus dilindungi sebagai taman margasatwa mini. Dananya tak sampai lima miliar, kata Romo. Kalau seorang wakil rakyat dapat dana aspirasi Rp 15 miliar, katakanlah kemudian ditawar pemerintah jadi Rp 10 miliar, itu sudah cukup.
Tapi kan pemerintah menolak, Romo, saya memotong. Romo ngotot: Ah, belum, itu baru omongan menteri keuangan yang baru. Nanti, kalau menteri ini digoyang seperti Sri Mulyani, ya, akan menyerah juga, paling angkanya sedikit turun. Ingat, rencana itu lahir di rapat Sekretariat Gabungan. Ketua hariannya kan Ketua Umum Golkar, memangnya pemerintah berani? Kalau berani, ya, akan digoyang lagi. Pemerintah sudah tersandera.
Saya mencoba memberi masukan. Romo, menurut editorial koran ini kemarin, permintaan anggota DPR itu sudah berlebihan, kata saya. Romo langsung menjawab: Soal berlebihan, dari dulu permintaan anggota DPR berlebihan. Gajinya berlebih, tunjangan dan fasilitasnya berlebih, kantornya berlebihan, kekonyolannya juga berlebihan. Tapi mana pemerintah berani melawan? Dana aspirasi ini pasti sukses, apalagi dibahas diam-diam saat masyarakat sibuk dengan Piala Dunia, kekejaman Israel, batalnya Obama ke sini, pimpinan KPK yang di ujung tanduk. Apalagi ditambah yang syur-syur mesum itu. Masyarakat terlena.
Saya mencoba mengalah. Oke, anggap teori Romo benar. Bukankah dana aspirasi itu harus bermanfaat untuk hajat hidup rakyat? Lo, ini kok memelihara kupu-kupu liar? Jalan dan jembatan di daerah ini banyak yang rusak, bendungan juga jebol. Itu kan lebih penting?
Romo tertawa: Begini, dana aspirasi itu melekat pada anggota DPR terpilih dari daerah pemilihan. Di daerah ini, yang terpilih dari partai kuning, basis massanya di lereng gunung. Yang dekat dengan jalan rusak dan bendungan jebol itu basis massa partai hijau dan partai biru, wakilnya kalah. Ya, tentu konstituen yang dijaga adalah konstituen yang memilihnya, yang berhak mengajukan usul juga masyarakat yang wakilnya terpilih. Dana aspirasi ini adalah dana untuk mempertahankan kursi sekaligus sarana untuk wakil rakyat menepuk dada bercongkak-ria kalau pulang ke kampungnya. Tak ada urusan dengan kesejahteraan rakyat.
Ini akan membuat friksi di masyarakat, akan jadi benih baru pergolakan di daerah, kata saya. Dana ini melanggar aturan, membuat simpang-siur wewenang pemerintah dan parlemen, sumber korupsi baru. Saya akan melawan, Romo. Please Romo, tetaplah berpihak pada rakyat.
Romo tersenyum: Sejak dulu saya berpihak ke rakyat. Masalahnya, apa pemerintah juga berpihak ke rakyat?