Putu Setia
Di manakah Merah Putih sekarang berkibar? Di Afrika Selatan tentu saja tidak. Di Jakarta, Sang Saka pasti tetap berkibar, misalnya di Istana Merdeka dan di kantor-kantor kementerian. Di Bali--mungkin sama dengan di daerah lain--Merah Putih pun tetap tegak di kantor-kantor militer dan kepolisian. Di halaman sekolah, tak ada yang mengibarkan, karena murid dan gurunya sudah libur.
Sementara itu, bendera negara lain berkibar di mana-mana menutupi langit, negara yang tim sepak bolanya kini berada di Afrika Selatan. Wujudnya besar, padahal membuat bendera itu tak mudah, ongkos jahitnya pasti jauh lebih mahal dibanding hanya menggabungkan selembar kain merah dan kain putih.
Apakah ini pertanda nasionalisme kita merosot? Bukan. Ini sihir bola. Sepak bola menyihir orang untuk melupakan kebangsaan, warna kulit, agama, status sosial. Kalau tak ada pesta bola empat tahunan ini, orang akan berpikir seribu kali untuk mengibarkan bendera merah putih biru di sebelah patung pahlawan kemerdekaan di Kota Denpasar. Bisa jadi pahlawan yang dipatungkan itu tersinggung, perjuangannya tak dihargai, bendera Belanda dan Jepang yang ia robek, tiba-tiba berkibar dengan megahnya. Tapi, karena bola, sang pahlawan maklum.
Orang-orang melotot di depan layar televisi menyaksikan 32 bendera negara adidaya sepak bola ditayangkan. Afrika Selatan saja bisa, kita kapan? Mungkin begitu gumamnya. Sejumlah orang di Makassar berkata: Indonesia bisa. Presiden Yudhoyono bertanya kepada kerumunan wartawan pada saat nonton bareng: Kita kapan bisa? Di Bandung, Dede Yusuf, yang Wakil Gubernur Jawa Barat, memoles pipinya dengan Merah Putih seraya menyiratkan tekad: Kita bisa. Bisa apa? Kita hanya bisa mengkhayal selain bisa nonbar alias nonton bareng. Teman saya yang koreografer tari bahkan mengkhayal terlalu jauh: Kita bisa membuat atraksi yang penuh warna-warni untuk pesta pembukaan Piala Dunia, kekayaan budaya kita jauh dari Afrika Selatan.
Khayalan itu tak akan berumur panjang. Selesai pesta bola, mengkhayal pun lupa. Kita kembali kepada jati diri yang sesungguhnya, bahwa kita sebenarnya anti-sepak bola. Bupati dan gubernur yang sekarang mengajak pegawainya menonton bareng (sambil mengkhayal: Kita harus punya tim yang kuat.) nanti tetap saja menjual tanah lapang yang strategis untuk pembangunan mal. Sudah puluhan bidang tanah lapang di kota dan kecamatan berubah jadi pertokoan.
Pengurus PSSI orangnya itu-itu saja, sudah gagal tak juga mundur. Namanya sudah muncul saat saya remaja. Kini, ketika anak saya remaja, mereka masih tetap jadi pengurus. Sekolah sepak bola di Salatiga, Purwokerto, Solo, dan entah di mana lagi, tak jelas juntrungannya. Pertandingan Liga Indonesia menjadi sesuatu yang menakutkan. Dulu, jika ada pertandingan antarklub di Senayan, orang yang tak kebagian tiket berkerumun mendengarkan siaran langsung dari radio. Sepak bola begitu memukau, meski lewat ocehan penyiar RRI yang memang piawai. Kini, kalau ada sepak bola di Senayan, orang memang mendengarkan radio dari mobil, bukan untuk menyaksikan sepak bola, melainkan ingin tahu jalan mana yang harus dihindari agar mobil tak kena lemparan batu. Para bonek, bobotoh, mania-mania klub, sejatinya anti-bola dan membunuh sepak bola itu sendiri.
Sihir bola hanya sebulan. Setelah itu, kita kembali ke persoalan sepele yang ditangani berkelat-kelit, yang tak kunjung selesai: kasus Century, dana aspirasi, mencari pimpinan KPK, video mesum. Tak ada yang serius membahas sepak bola menuju khayal bersama: Piala Dunia.