Putu Setia
Saya sedang mendampingi Romo Imam tatkala dua orang yang mengaku bandar judi datang meminta ramalan. Saya tahu, Romo tak begitu sreg dengan tamunya, apalagi permintaannya yang aneh. "Tolonglah Romo, saya sudah banyak rugi. Malam ini hari terakhir, siapa yang menurut Romo menang, Belanda atau Spanyol?"
"Menerka-nerka sesuatu yang belum terjadi bertentangan dengan agama. Itu mendahului apa yang direncanakan Tuhan. Saya bukan peramal," kata Romo.
"Ah, Romo..." salah seorang merengek. "Sudah tersiar kabar Romo meramal dengan jitu ketika Spanyol mengalahkan Jerman. Bahkan skor 1-0 untuk Spanyol termasuk yang Romo ramalkan lewat Facebook itu."
"Status di Facebook itu kan guyonan. Hanya kebetulan saja, tak ada ilmu ramal apa pun yang dipakai," jawab Romo. Bandar judi tak kalah merengek, "Tapi para penjudi berkata, mustahil seorang pendeta mau bercanda, apalagi candanya menebak skor pemenang. Pendeta di mana-mana dekat dengan Tuhan, siapa tahu Tuhan memang bermurah hati membisiki suatu rencana yang belum dikerjakan-Nya. Tolonglah Romo, tak usah pakai skor, Belanda atau Spanyol?"
Romo mulai mangkel. "Pendeta juga manusia, kenapa tak boleh bercanda? Sudahlah, kan ada Paul Si Gurita di akuarium Sea Life Oberhausen. Siapa yang menang menurut Paul?"
"Spanyol lagi," sahut seorang bandar dengan cepat. Bandar yang satu menimpali, "Burung kakaktua yang bernama Mani, milik seorang peramal tersohor, menyebut Belanda yang menang. Kan, kami jadi bingung?"
"Binatang pun mengadu domba manusia. Salahnya, kenapa kita lebih percaya sama binatang. Katanya manusia lebih mulia. Lalu bagaimana peramal kita menyebutkan siapa yang juara kali ini? Kan ada itu, Dedy... siapa ya, namanya sulit, Romo hanya ingat Dedy saja."
"Saya tahu siapa yang Romo maksud," kata bandar judi. "Tapi dia pesulap, bukan peramal. Dia memang meramalkan siapa yang juara di Afrika Selatan dengan memasukkan kertas yang katanya berisi nama pemenang dalam sebuah kotak. Tapi tak seorang pun diperbolehkan tahu apa isi kertas itu, karena baru dibuka setelah pertandingan selesai, hanya untuk membuktikan kebenaran ramalan. Anak kecil pun tahu kalau itu permainan sulap. Di buku sulap itu tergolong teknik selip-menyelipkan benda atau kertas. Lagi pula ramalan itu tak berarti apa-apa, hanya orang bodoh yang kagum."
Romo menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian dasar penjudi, bertaruh berdasar ramalan. Sepak bola permainan modern, adu keterampilan individu, keselarasan tim, strategi pelatih, dukungan suporter atau pemerintah untuk lebih percaya diri, lalu keberuntungan. Kalau PSSI main dengan Belanda atau Spanyol, tak usah diramal siapa yang menang. Tetapi, jika para juara bertemu, kemenangan ditentukan oleh banyak faktor. Saking banyaknya, orang sulit mengatakan, lalu disebut singkat saja: bola itu bundar. Sudahlah, kalau tetap mau syirik-syirikan dan percaya klenik, di sana ada makam, pejamkan mata, bayangkan siapa yang menang, itulah yang menang."
Dua bandar judi itu pun pergi. Setengah jam berselang, seorang anak gembala melapor, "Romo, ada orang masuk makam, mulutnya komat-lamit, matanya terpejam."
Karena Romo diam, saya yang bicara, "Biarkan saja, dia penggemar sepak bola, tapi salah langkah--seperti kebanyakan orang kita. Bukannya belajar dari Afrika bagaimana mengelola pertandingan tingkat dunia atau membuat sepak bola di sini bergairah, tapi meramaikan judi. Ya, hanya baru segitu kemampuan kita: nonton bareng, berkomentar bak pelatih piawai, bikin kuis, bertaruh, memburu ramalan."