Saya mendapat tawaran mengisi debat tentang infotainmen, tapi tak jelas posisi saya ada di mana. Setuju infotainmen disensor atau tidak. "Pokoknya siapkan saja keduanya, tergantung lawan yang saya dapatkan," kata teman saya, yang menjadi orang penting di TV swasta itu.
Saya siapkan materi pertama, setuju infotainmen disensor. Alasannya, seperti yang sudah disepakati Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, dan Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa program siaran infotainmen, reality show, dan sejenisnya banyak melakukan pelanggaran terhadap norma agama, etika moral, norma sosial, Kode Etik Jurnalistik.
Pelanggaran ini tak usah diperinci, terlalu banyak menyajikan urusan pribadi, termasuk urusan "di atas ranjang". Tak ada unsur pendidikannya, apalagi mencerdaskan bangsa, sebagaimana "ideologi" sebuah karya jurnalistik. Pelanggaran kode etik jurnalistiknya adalah cara mendapatkan bahan, cara penyajian yang mencampurkan opini dan fakta, juga tak imbang. Karena bukan lagi karya jurnalistik sudah sepatutnya kena sensor. Tapi bukankah pers harus bebas dari sensor? Betul, tapi televisi beda dengan lembaga pers lain. Tayangan televisi menggunakan frekuensi radio yang terbatas dan karena itu diatur negara. Beda dengan majalah dan koran yang bisa dicetak di mana maunya.
Jika posisi saya nanti menolak sensor, pertanyaan pemula adalah untuk apa sensor itu? Apakah untuk mengubah status dari nonfaktual menjadi faktual? Apakah dengan disensor, infotainmen yang tadinya bukan karya jurnalistik menjadi karya jurnalistik? Jika "ya", apakah lembaga sensor siap? Kalau terjadi antrean, bisa menimbulkan suap--maklum rumah produksi yang menghasilkan infotainmen bersaing ketat. Tentang lembaga sensor, kalau diserahkan kepada Lembaga Sensor Film sebagaimana bunyi undang-undang, mohon maaf, apakah mereka mengerti karya jurnalistik? Sebab, yang disensor adalah karya "mirip jurnalistik".
Jika sensor itu tak mengubah statusnya sebagai tayangan nonfaktual, akibatnya bisa lebih konyol. Dari sisi pemirsa, tak jadi masalah. Penonton tak peduli dan tak paham apa beda faktual dan nonfaktual. Luna Maya yang ia tonton adalah Luna Maya yang sebenarnya, fakta orangnya ada. Namun, di mata hukum, Luna itu "bukan yang sebenarnya", karena ini karya fiksi. Jika misalnya dalam tayangan itu Luna Maya dirugikan padahal tayangan sudah disensor, Luna menuntut ke mana? Pengelola infotainmen akan berkilah: "Lo, itu infotainmen Jeng Luna, itu nonfaktual, bukan karya jurnalistik."
Tiba-tiba teman saya menelepon: "Kita membatalkan debat. Bagaimana kalau Anda jadi pengamat saja?"
Kalau jadi pengamat, memang lebih mudah. Kembalikan kepada pedoman penyiaran yang sudah ada (P3SPS 2009), tak ada yang perlu diubah. Cuma, seluruh program faktual, penanggung jawab ada pada redaktur di televisi itu, bukan pemilik rumah produksi. Semua kegiatan, dari pencarian bahan sampai penyajian, harus berpedoman pada kaidah jurnalistik. Wartawannya--bukan pekerja infotainmen--ditatar jurnalistik yang benar. Tak ada lagi istilah infotainmen, semuanya news, hanya dibedakan nama acara (di media cetak: rubrik), misalnya: berita, sorotan, perjalanan, telusur, debat, dan sebagainya. Lalu ada berita seputar artis--itulah yang "dulu" disebut infotainmen.
Sederhana, kan? Kalau pemimpin redaksi televisi itu setia kepada konsep jurnalisme, apalagi membaca lengkap undang-undang penyiaran, tayangan TV akan jadi sehat karena peran media sebagai pendidik dan pencerdas bangsa yang menghormati norma agama dan kesusilaan akan dijunjung tinggi.