Putu Setia
Bukan hanya iklim yang bikin bingung sekarang. Pemimpin kita, termasuk kebijakan yang mereka ambil, juga membingungkan. Kadang tidak menyambung satu sama lain. Tetapi, kalau ada yang menyambung-nyambungkan, bisa juga klop. Fenomena apa ini?
Kalimat di atas adalah keluhan Romo Imam yang tidak saya pahami. "Romo, jangan seperti politikus, ngomong tak jelas. Romo mau bicara soal apa?" kata saya.
"Pemimpin kita membingungkan. Bagaimana mungkin anak-anak dilarang membacakan deklarasi yang merupakan hasil kongres anak-anak itu sendiri," kata Romo. Saya mulai paham, itu tragedi pada Hari Anak Nasional yang diperingati di Taman Mini, tatkala panitia membatalkan pembacaan deklarasi anak-anak hasil Kongres Anak di Pangkalpinang.
"Mungkin deklarasi itu begitu bagus dan Istana merasa tak yakin kalau kata-kata itu diciptakan oleh anak-anak. Kesannya, anak-anak dipolitisasi. Biarkan anak-anak menyanyi: pelangi... pelangi... alangkah indahnya... pada hari anak-anak. Mungkin ada pemikiran begitu, Romo. Biarkan anak-anak bebas mengekspresikan kekanak-kanakannya, jangan membaca deklarasi kayak membaca pernyataan politik," kata saya.
Karena Romo diam, saya melanjutkan: "Dulu di era Pak Harto kan begitu. Setiap perayaan Hari Anak, ya, anak-anak menyanyi, menari, lucu-lucu, sampai Pak Harto tertawa lepas. Lo, sekarang kok membuat pernyataan macam-macam, minta inilah, menuntut itulah, bahkan mengurusi rokok...."
"Cukup!" Romo memotong ucapan saya. "Anak sekarang sudah pinter. Anak TK saja sudah menyimpan video porno di HP-nya, lalu memutarnya sambil berteriak: ada orang main kuda-kudaan...." Hupp, sensor! Maaf, ucapan Romo Imam sedikit saya sensor. Saya risi mengutip seorang ulama--apalagi presiden--yang mengomentari video porno.
"Tidak nyambung karena seharusnya Presiden mendengar kesah anak-anaknya tentang kondisi sekarang," kata Romo--ucapan ini setelah "sensor" saya cabut. "Tetapi, kalau disambung-sambungkan, klop juga. Pemerintah tak punya kebijakan yang jelas dalam soal rokok, misalnya. Kalau semua tuntutan untuk membatasi produksi rokok disetujui pemerintah, pabrik rokok mengeluarkan ancaman: oke, tapi jutaan buruh akan menganggur. Apa pemerintah siap?"
Romo menjelaskan panjang-lebar bagaimana kebijakan pemerintah yang selalu mengambang, sementara komunikasi amburadul. Saya kutip soal lain: subsidi Premium. Semula diwacanakan sepeda motor tak boleh pakai Premium bersubsidi, tapi batal karena banyak protes. Lalu mobil produksi di atas tahun 2005 tak boleh pakai Premium, harus Pertamax. Tiba-tiba ribuan taksi rusak karena diduga memakai Premium berstandar rendah. "Ini nyambung apa tidak?" tanya Romo.
"Tidak," kata saya. "Nyambung," kata Romo. "Mungkin mau pemerintah begitu. Kendaraan komersial, apalagi taksi, yang hanya dipakai masyarakat menengah ke atas, harus pakai Pertamax."
Romo membuka catatan. Blue Bird punya 11 ribu taksi. Jika satu taksi menghabiskan 30 liter Premium sehari, butuh 330 ribu liter sehari. Katakanlah selisih harga Pertamax dan Premium yang Rp 2.500 dianggap subsidi, maka sehari ada Rp 825 juta biaya subsidi. "Itu baru satu perusahaan dan baru sehari. Kalau setahun, berapa? Apakah petani di desa mendapat subsidi sebesar itu?" kata Romo.
"Kalau begitu, kerusakan filter pada taksi berhubungan dengan niat pemerintah menggiring taksi ke Pertamax?" tanya saya. Romo malah tertawa: "Kan, sudah saya bilang tadi, kalau mau disambung-sambungkan bisa, kalau tak disambungkan juga bisa. Yang jelas, komunikasi pemerintah paling buruk saat ini, itu yang lebih memprihatinkan."