Putu Setia
Tak pernah sekali pun saya meminta pendapat kepada orang lain untuk menulis. Kalau ingin menulis, ya, menulis saja. Kecuali kali ini, ketika saya ingin menulis tentang Ruhut Poltak Sitompul.
Saya menemui Romo Imam hanya untuk hal yang tak lazim: apakah saya etis mengomentari pendapat Ruhut Sitompul sekitar masa jabatan presiden. Tak saya duga, Romo Imam melarang. "Masa jabatan presiden adalah soal yang sudah selesai. Kenapa pernyataan itu ditanggapi dengan ramai?" tanya Romo.
"Bukan itu yang mau saya tulis," kata saya. "Kenapa Ruhut melontarkan gagasan seperti itu? Apakah cuaca ekstrem ikut mempengaruhi pola pikir para politikus? Siapa tahu ada pengaruhnya, banjir terjadi di bulan Agustus, padahal hujan di bulan Juni saja membuat Sapardi menulis puisi."
Romo tertawa, "Itu terlalu jauh. Politikus sekarang ini bukan lagi profesi, politikus bukan sebuah minat yang dipelihara dengan ketekunan mengasah diri, politikus juga bukan pengabdian, ah, yang terakhir ini sudah tahi kucing. Seorang pemain sinetron yang punya uang bisa menjadi anggota Dewan, seorang anak bupati bisa menjadi bupati dengan memanfaatkan uang dari bapaknya yang masih menjabat. Masalahnya adalah uang, karena pemilihan apa pun sekarang ini semuanya ditentukan oleh uang. Nah, setelah jabatan diperoleh, orang-orang itu kembali kepada habitat aslinya. Yang doyan ngomong jorok kembali ngomong jorok, yang doyan kawin kembali selingkuh. Tentu saja itu sebagai selingan dari pekerjaan utamanya, yaitu korupsi. Ya, korupsi dengan berbagai cara, termasuk membuat anggaran yang tak masuk akal, seperti dana aspirasi, dana desa, rumah aspirasi, dan segudang kebusukan lainnya."
Saya pikir Romo terlalu melebar. "Romo, yang tadi menarik, tetapi saya tak berminat. Yang saya maksudkan, kenapa orang seperti Ruhut bicara soal masa jabatan presiden?" kata saya.
"Banyak teori soal itu, dari teori paling dangkal sampai paling dalam," jawab Romo. "Yang paling dangkal, Ruhut disuruh bicara seperti itu untuk tes, apa reaksi masyarakat. Siapa tahu masyarakat mendukungnya. Kalau masyarakat mendukung, artinya terjadi ketidakpedulian di masyarakat atau rakyat sudah masa bodoh. Mau tiga periode atau sepuluh periode, enggak usah dipikir. Bangsa ini jadi bangsa bekicot, tak pernah maju. Teori yang lebih dalam, Ruhut disuruh bicara ngawur, ya, semacam tokoh antagonis dalam sinetron, agar ada kesempatan untuk menaikkan pamor dan citra sang pemain utama, sang pahlawan. Kalau Ruhut tak bicara ngawur, kapan Presiden SBY punya kesempatan menjelaskan ketidaksetujuannya dengan jabatan presiden diperpanjang sampai mengutip sejarawan Inggris, John Dalberg-Acton, segala? Jadi SBY dapat poin dari cara Ruhut yang ngaco itu."
"Itulah masalahnya kenapa saya mau menulis Ruhut. SBY bukan dapat poin, justru kehilangan poin. Kalau saya menjadi SBY, saya sangat terhina dipuji dengan cara vulgar ala Ruhut itu. Rendah hati, jujur, membela rakyat, dan entah apalagi, diucapkan dengan cara seorang ibu memuji anaknya di forum arisan, sungguh tak bisa saya bayangkan keluar dari mulut seorang politikus yang menjadi ketua partai besar. SBY kan bukan anak kecil, beliau kan sangat terpandang."
"Sebentar," Romo memotong. "Bagaimana kalau SBY memang suka pujian vulgar begitu? Ya, siapa tahu, kekuasaan membuat orang manja. Lagu SBY--dan bukan pendapatnya yang bernas--juga dijual di situs kepresidenan. Karena itu, sudahlah, tak usah menulis soal Ruhut."
Saya menyerah dan menjawab dengan pelan. "Baik Romo, saya akan menulis tentang Poltak saja."