Putu Setia
Mari berperang. Satukan tekad, bulatkan keyakinan, tanamkan dalam dada kita bahwa kita pasti menang. Kawan, sudahkah Anda siap terjun ke medan laga dan menunggu kemenangan itu akan datang?
Perang melawan siapa? Melawan Malaysia? Oh, tentu saja bukan. Malaysia bukan musuh kita. Negara ini dihuni oleh orang serumpun dengan kita, orang Melayu. Malaysia tetangga kita, kalaupun sesekali kita pernah cekcok, dua atau tiga kali pasti pernah rukun. Kita saling membutuhkan, saling punya ketergantungan. Berperang melawan tetangga, hasilnya sudah pasti seperti yang ditulis oleh para pujangga Melayu di masa lalu: menang jadi arang, kalah jadi abu. Arang dan abu tak begitu jauh bedanya, tapi persamaannya adalah terjadi kerusakan berat dibanding sebelum terjadi perang. Kalau sudah jadi arang, apalagi jadi abu, tak bisa dikembalikan lagi ke bentuknya yang semula. Betapa dahsyatnya dampak perang.
Karena itu, mari kita bunuh nafsu berperang melawan negara tetangga. Kalau sekadar mengumpat, mengecam dengan kata, mengingatkan dengan keras, bolehlah asal tak berlarut-larut, karena pekerjaan kita di dalam negeri masih banyak. Memang, siapa yang tak geram kalau kedaulatan kita dipermainkan begitu saja oleh bangsa lain, lebih-lebih itu tetangga sendiri. Betul juga bahwa kita terlalu sering dilecehkan. Selain kelakuan buruk tetangga kita dalam masalah perbatasan, kelakuan buruk lainnya sudah lebih dulu dipamerkan dalam hal hak cipta, misalnya. Warisan leluhur kita, seperti batik, wayang, dan tari pendet, diklaim sebagai warisan mereka.
Tapi tidakkah kelakuan buruk tetangga itu bisa kita jadikan bahan introspeksi? Sebelum tetangga kita mengklaim warisan leluhur itu sebagai miliknya, apakah kita sudah cukup melestarikan warisan itu sesuai dengan aturan zaman? Apakah kita sudah mendaftarkan hak paten batik, wayang, tari pendet, angklung bambu, dan sejenisnya ke lembaga-lembaga terkait?
Begitu pula dalam masalah perbatasan. Sudahkah kita menentukan garis perbatasan yang disepakati oleh semua negara yang berbatasan? Presiden SBY baru saat berpidato di Cilangkap memerintahkan supaya perundingan perbatasan dengan Malaysia segera dilakukan. Lha, kok, baru sekarang, memangnya kemarin-kemarin tak ada yang mengurusi masalah itu?
Malaysia menuduh tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan memeras nelayan mereka dan, karena itu, polisi Malaysia menangkapnya. Menteri Kelautan membantah. Kita menuduh Malaysia menangkap ketiga petugas kita di perairan Indonesia. Malaysia membantahnya. Bantah-berbantahan begini masih bisa diselesaikan dalam koridor perundingan. Jika buntu, mari kita undang pihak ketiga yang independen. Kalau masih juga buntu, ya, baru cara yang lebih keras. Janganlah keburu nafsu, belum apa-apa sudah siap berperang. Memangnya kita betul-betul tega saling berbunuhan antartetangga?
Tapi kita juga tak bisa menggadaikan harga diri. Kalau betul kedaulatan kita diinjak-injak, kita harus melakukan protes keras, jangan lembek. Jangan pula menimang untung-rugi. Keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang jutaan itu jangan sampai dijadikan alat memperlunak protes yang seharusnya bisa keras.
Masih siapkah Anda berperang? Tentu, tapi bukan melawan Malaysia. Berperanglah melawan nafsu buruk yang ada dalam diri kita, termasuk berperang melawan "nafsu berperang". Kita tetap mengendalikan diri--antara lain dengan berpuasa--dan pada akhir pekan ini, insya Allah, kemenangan sejati akan datang.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.