Putu Setia
Hendarman Supandji akhirnya resmi dicopot sebagai Jaksa Agung. Ini mengakhiri polemik yang sesungguhnya tak pantas dipolemikkan lagi. Mahkamah Konstitusi memutuskan jabatan Jaksa Agung yang disandang Hendarman tak sah setelah hari Rabu lalu pukul 14.35 WIB.
Mungkin Hendarman sudah menduga putusan itu. Buku-buku pribadinya sudah dibawa pulang. Namun ia tak langsung menyatakan bahwa dia "bukan lagi Jaksa Agung" meskipun hari Rabu telah berganti Kamis.
"Apakah Pak Hendarman yang wajahnya selalu tenang itu membangkang?" tanya saya kepada Romo Imam.
Romo Imam menjawab, "Kamu salah menerka. Hendarman menerima putusan itu dengan sangat legowo. Indikasinya, selain berbenah akan meninggalkan kantornya, beliau menyatakan tak akan membuat keputusan strategis. Bahkan tak ikut senam kesegaran jasmani pada hari krida Jumat lalu, padahal olahraga itu bukan keputusan strategis. Bagaimana disebut membangkang?"
"Tapi Pak Hendarman berkata, dia tetap Jaksa Agung sampai ada keputusan presiden yang memberhentikannya. Beliau mengutip sebuah pasal dalam undang-undang, jabatan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden. Itu berarti beliau ngotot sebagai Jaksa Agung," kata saya.
Romo tertawa. "Kamu masih perlu belajar budaya Jawa. Setelah putusan Mahkamah diketok, sinyal dari Istana semula menyiratkan perlawanan. Orang-orang di lingkaran Presiden, terutama menteri yang mengurusi masalah administrasi negara, menyebutkan Hendarman tetap Jaksa Agung yang sah sampai ada keputusan presiden yang memberhentikannya. Kalau Hendarman tidak mengikuti arus itu, misalnya, ia langsung tak masuk kantor, justru ia membangkang kepada atasannya, yaitu presiden."
"Tapi kenapa ia menyebut pasal yang seolah-olah membenarkan dirinya masih Jaksa Agung?" tanya saya. Romo kembali tertawa. "Ucapan itu ibarat permainan biliar. Yang disodok sebuah bola, yang masuk lubang adalah bola yang lain. Hendarman berkata, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Orang tahu, ia diangkat pada pemerintahan SBY periode 2004-2009. Nah, ketika periode itu berakhir, berakhir pulalah jabatan Jaksa Agung, wong presiden yang mengangkatnya berakhir masa jabatannya. Lalu SBY terpilih lagi menjadi presiden masa jabatan 2009-2014, mengucapkan sumpah secara resmi. Presiden kemudian mengangkat anggota kabinetnya. Menteri yang terpilih kembali disebut lagi namanya dan dilantik pula. Saat itu Hendarman tak disebut lagi sebagai Jaksa Agung, dilantik pun tidak. Lalu siapa yang mengangkat dia sebagai Jaksa Agung?"
"Surat pengangkatan lama kan belum dicabut," jawab saya. Romo tergelak. "Periodisasi kabinet itu mengikuti masa jabatan presiden. Hendarman tahu soal itu. Kalau tidak, tak mungkin ia mempereteli sendiri wewenangnya setelah putusan Mahkamah."
"Jangan-jangan Presiden kurang ngeh soal administrasi," saya nyeletuk. "Betul," Romo langsung memotong. "Administrasi negara amburadul. Hendarman hanya korban kesekian. Sebelumnya, ada Anggito Abimanyu. Sudah diumumkan jadi wakil menteri, eh, pangkat kurang, lalu dibatalkan. Yang kena getah Presiden, seolah-olah beliau tak konsisten memegang ucapannya."
"Ya, kasihan SBY," kata saya. "Baru saja beliau menegur Telkom dan Telkomsel gara-gara telekonferensinya ngadat. Orang sekitar SBY mestinya tahu, saluran komunikasi saat ini bukan cuma diurus Telkom dan Telkomsel. Benar kan, teguran itu salah alamat."
Romo berbisik, "Tapi apa Presiden minta maaf kepada Telkomsel, kepada Anggito, kepada Hendarman...?" Saya diam, tak tahu jawabnya.