Putu Setia
Meski hanya menonton di televisi, saya tak pernah sampai tuntas menonton kesebelasan Indonesia. Apakah itu pertandingan Liga Indonesia, Liga Super, termasuk tim nasional.Kecuali Jumat malam lalu, tatkala tim nasional bertanding melawan Uruguay.
Ini pertandingan luar biasa. Saya sempat ragu, apakah musuh Uruguay itu benar-benar tim Indonesia yang diambil dari klub-klub liga? Saya memastikan itu. Ada Bambang Pamungkas, Markus Horison, Boaz Solossa. Saya pun menonton sampai selesai.
Tim nasional bermain dengan "harga diri"yang tinggi. Ini penting dikemukakan pada saat kata "harga diri"kena inflasi. Solossa dan kawan- kawannya tak merasa takut kepada lawan yang lebih perkasa dan berani membuktikan datang ke lapangan untuk menantang. Mereka tak membatalkannya hanya karena ditakut-takuti orang bahwa Uruguay akan mengalahkan dengan angka telak. Mereka berani dan punya kepercayaan diri tinggi. Begitu peluit berbunyi, mereka menyerang dengan cepat, tak perlu ragu, tak mencla-mencle, dan hasilnya sebuah gol yang indah.
Bahwa gol ini dibalas dengan gol yang bertubi-tubi, itu adalah fakta bahwa tingkat kemahiran mereka memang masih rendah.Tapi tak ada yang sakit hati, kecewa, frustrasi, rendah diri. Para pemain tak bermain kasar untuk menyembunyikan "kekurangpandaian"mereka. Mereka menjunjung sportivitas. Markus, kiper yang perkasa itu (menurut saya, dia pemain terbaik malam itu), tak memprotes wasit ketika dia dihukum dengan tendangan penalti karena mengganjal lawan. Sampai akhir pertandingan,wasit sehat walafiat dan bisa tersenyum.
Ini barang langka.Keponakan saya yang gemar menonton siaran langsung sepak bola sore hari kecewa karena tak melihat ada pemain saling dorong,wasit dikejar, penonton saling lempar dan membakar. Kenapa tim nasional bisa bermain cantik malam itu?
"Anak-anak itu kalau ada yang mengayomi, semuanya anak-anak baik. Mereka salah asuh saja,"kata kawan lama saya--ia dulu salah seorang pengasuh Indonesia Muda, perkumpulan yang punya tim dan sekolah sepak bola di berbagai daerah. Intinya, penyebab kemerosotan sepak bola nasional karena "salah asuh"dan "salah urus".
Ronny Paslah dan Sutan Harhara bernostalgia tentang waktu 30 tahunan yang lalu. Kala itu tim nasional mengalahkan Uruguay dengan skor 2-1. Apa yang terjadi dalam rentang waktu itu? Tim nasional Indonesia diasuh dengan salah, sementara tim nasional Uruguay diasuh dengan benar. Pengasuh sepak bola Uruguay konsisten dan penuh waktu mengurusi bola. Pengasuh sepak bola kita konsisten tak mau mundur padahal waktunya dipakai mengurusi macam-macam, dari kedelai, gandum, gula, pengacara, sampai penjara. Uruguay memulihkan diri sebagai tim terhormat di Amerika Latin, lalu meloncat ke Piala Dunia, jadi semifinalis Piala Dunia 2010 dan peringkat ketujuh FIFA. Indonesia, yang pernah jaya di Asia, jadi tim yang dipermalukan terus-menerus dan peringkat FIFA-nya sudah masuk tiga digit.
Pada zaman Ronny Paslah, orang-orang datang ke stadion dengan gembira, membawa camilan secukupnya, disambut spanduk: "Saksikan Kesebelasan...."Sekarang, orang menjauhi stadion karena ada peringatan "hati-hati ada pertandingan". Stadion diisi orang-orang sangar yang membawa batu secukupnya.Apakah ini tidak karena "salah asuh"juga?
Mumpung tim nasional memperlihatkan permainannya yang cantik Jumat lalukalah telak tak jadi masalahsebaiknya momentum ini dipelihara dengan baik.Kembalikan sportivitas dan kenyamanan dalam sepak bola, dan tolonglah para pengasuh sepak bola (pengurus PSSI) bersedia mundur. Priittt....