Putu Setia
Merapi menyimpan sejuta misteri. Seandainya gunung berapi ini ada di Aceh atau Papua, mungkin misterinya tidak seheboh sekarang.
Merapi ada di pusaran budaya Jawa, meneruskan warisan budaya Hindu. Masyarakat "penunggu" Merapi sudah sejak dulu beralih agama, jauh sebelum negara kesatuan ini ada. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, mewarisi jabatan dari leluhurnya, yang tentu saja, sudah menjadi muslim yang taat. Rumah Mbah Maridjan berdampingan dengan masjid. Keseharian si mbah lebih bertampang ustad dibanding seorang kuncen Merapi--sebuah jabatan yang mengharuskan dia tak melupakan tradisi persembahan ala budaya Hindu, minus doa-doanya.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempertahankan tradisi leluhur itu dengan baik. Merapi tak bisa dilepaskan dari kesatuan keraton, karena gunung dalam konsep Hindu tak bisa lepas dari pusat kerajaan dan laut yang ada di selatannya. Ritual budaya Hindu Nusantara--yang tetap lestari di Bali--menempatkan gunung selalu di arah utara (kaja, bahasa Bali) dan laut di arah selatan (kelod, bahasa Bali) dilihat dari posisi keraton, sehingga ritual apa pun yang dilakukan tak akan sempurna sebelum ada persembahan "nyegara-gunung". (Nyegara berasal dari kata segara, artinya laut).
Keraton Yogyakarta tetap melakukan ritual di Laut Selatan dengan sesaji penuh warna, apalagi mitos Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan tak bisa terhapus dari memori warga--betapa pun masyarakat pendukung budaya ini sudah bukan penganut Hindu lagi. Dan Merapi jadi bagian yang tak bisa dipisahkan, dan di situ pentingnya seorang juru kunci (di Bali disejajarkan dengan "pemangku gede") yang menjaga kesucian gunung. Mbah Maridjan adalah sosok yang sangat setia dengan "jabatan" ini.
Ketika Gunung Agung di Bali meletus dengan dahsyatnya pada 1963, "Mbah Maridjan"-nya Gunung Agung yang tak cuma satu--karena ada di setiap arah mata angin--begitu gigih bertahan di posnya, meski lahar dan bebatuan menghunjam kawasan mereka. Ada yang mengajak masyarakat untuk menghadang lahar dengan doa, ada yang menyuruh masyarakat pergi menyelamatkan diri tetapi dia tetap "membelokkan" lahar melalui doanya. Cerita sekitar ini begitu heboh--apalagi ditambah-tambahi supaya lebih serem--ada lahar yang berbelok ke tebing, ada batu yang mendadak berhenti meluncur. Tapi, tak sedikit cerita, puluhan orang mati terpanggang lahar karena "kekonyolan" mereka. Lalu dengan cara apa menjelaskan bahwa "juru kunci" Gunung Agung yang ada di kawasan Pura Besakih bukan hanya selamat sejahtera seperti Mbah Maridjan pada 2006, tetapi juga amukan Gunung Agung yang memuntahkan jutaan kubik batu itu tak membuat Pura Besakih rusak. Kok bisa, batu terbang melewati pura, lahar tak menjamah pura, sementara kawasan di sekitarnya hancur total?
Kini Merapi tak meletus seperti Agung, hanya erupsi, tetapi siklusnya cepat. Dan Mbah Maridjan terbukti "sukses" bertahun-tahun menjaga gunung ini--sampai akhirnya ia "menyerah" pekan lalu.
Maaf, saya tak ingin menggosipkan lebih banyak misteri, apalagi kisah gaib begini mudah dipelesetkan jadi klenik, lalu dikaitkan dengan musyrik. Saya hanya ingin berbagi bahwa misteri sering kali ada di sekitar kita tanpa bisa kita perinci, namun kita jangan terjebak pada urusan yang gaib. Kalau deteksi ilmiah menyebutkan Merapi tak aman sampai wilayah tertentu, bebaskan wilayah itu tanpa risiko apa pun. Hidup-mati memang rahasia Tuhan, namun menyelamatkan penduduk berdasarkan data ilmiah bisa memperkecil jumlah korban kalau nanti Merapi kembali erupsi.