Putu Setia
Sejak Lebaran haji, saya belum kontak dengan Romo Imam. Tiba-tiba muncul pesan pendek di telepon seluler saya. Isinya: "Carikan wig seperti yang dipakai Gayus." Saya terperanjat.
Saya balas: "Untuk apa rambut palsu, bukankah Romo tidak botak?" Cepat sekali beliau menjawab: "Enak melihatnya, banyak tokoh yang sudah memakainya di Internet."
Saya punya beberapa rambut palsu, tapi itu untuk keperluan menari topeng. Pentas seni topeng di Bali memerlukan rambut palsu untuk berbagai peran. Celakanya, tak ada yang mirip punya Gayus. "Sabar Romo, saya pesankan dulu," kata saya ketika bertandang ke padepokannya kemarin sore. "Tapi apa penting betul rambut ala Gayus itu?"
Romo tersenyum. "Saya diperlihatkan anak-anak, beberapa tokoh sudah muncul di Internet memakai wig Gayus. Tentu saja semua rekayasa dan pasti tanpa minta izin kepada sang tokoh. Ada yang berniat mengejek, menyindir, atau sekadar menumpahkan kekesalan. Yang menarik, semuanya jadi mirip Gayus. Betul-betul mirip, kalau Gayus sendiri bukan mirip lagi, tapi memang dia."
"Apanya yang menarik?" tanya saya. "Ya, tokoh itu jadi mirip Gayus. Yang mencemaskan jika kelakuannya juga mirip Gayus, akal bulusnya mirip Gayus, percaya diri untuk berdusta juga mirip Gayus. Yang lebih mencemaskan kalau ternyata semuanya itu adalah komplotan Gayus," kata Romo.
Saya belum paham apa maksud Romo, karena itu saya diam. "Sudah dengar pengakuan Gayus?" tanya Romo kemudian. "Ia keluar dari tahanan karena ikut-ikutan, artinya ada orang yang memberi contoh, ia hanya meniru. Kalau Gayus diizinkan dan diberi kesempatan berbicara polos, mungkin ia akan mengatakan, caranya ke luar tahanan dengan menyuap adalah meniru orang lain. Caranya memeras wajib pajak bermasalah juga meniru orang lain. Bagaimana menyimpan uang miliaran dari wajib pajak yang ia peras juga meniru orang lain. Sampai di sini kesalahan Gayus cuma satu, dan itu sudah diakuinya, ia tergiur bunga bank sehingga sebagian uang itu disimpannya jadi deposito. Orang lain tak melakukan itu."
"Sebentar," kata Romo ketika tahu saya ingin memotong. "Ketika Gayus diadili dalam kasus pajak ini, ia pun meniru orang lain, polisi, jaksa, hakim semuanya disogok. Sebagian uangnya ia hamburkan untuk menyogok, sebagian diselamatkan, sebagian kecil masih disisakan di bank. Kalau sekarang muncul ide Gayus dimiskinkan, itu hanya bisa menyita sebagian kecil uangnya. Apalagi kalau ide memiskinkan Gayus hanya wacana. Di negeri ini, antara wacana dan pelaksanaan, tenggang waktunya jauh. Pertimbangannya banyak. Ada berbagai rapat, lalu hasil rapat dievaluasi dalam rapat, kemudian hasil evaluasi dirapatkan lagi, keputusan keluar ketika obyek yang diputuskan sudah berubah."
"Gayus ini sebenarnya berjasa kalau kita jadikan pelajaran," kata Romo lagi. "Seorang Gayus saja, dan itu pun baru sekali mengenakan atribut kepalsuannya, sudah mengungkap berbagai aib besar negeri ini. Kalau dia diberi kesempatan membongkar kepalsuan lainnya, lalu dari sana kita belajar memperbaiki keadaan. Bukankah dia berjasa?"
"Kan, sudah ada janji dari Kapolri kasus ini akan dituntaskan," kata saya. Romo tertawa: "Tuntas versi siapa? Tuntas versi polisi, ketika kepala rutan dan anak buahnya dihukum. Tuntas versi menteri, anggota parlemen, pimpinan partai, semuanya beda. Sekarang kasus ini bahkan dilebarkan ke urusan politik. Pemilu 2014 yang jauh itu sudah dibawa-bawa. Makanya, kalau kita semua memakai rambut palsu ala Gayus, jangan-jangan cermin bisa ngomong: kalian penipu semua."