Kita sudah lama kehilangan humor. Humor yang tidak menyakiti, yang membuat kita tersenyum, syukur bisa tertawa. Humor yang membuat kita tak dendam, baik dendam kepada sesama manusia maupun kepada keadaan.
Srimulat dan Ketoprak Humor sudah lama hilang dari televisi. Memang masih ada tayangan humor, tapi humor gedebak-gedebuk, saling gebrak dan saling memukul--meski di layar ada teks: properti menggunakan bahan lunak yang tak membahayakan.
Seperti diwakili oleh media televisi, di dunia politik pun humor sudah lenyap. Negeri ini dikelola oleh orang-orang yang tegang, yang cemberut tanpa senyum. Semua masalah ditangani dengan ketegangan yang serius atau keseriusan yang menegangkan.
Bagaimana menghadirkan humor kalau bencana silih berganti? Ini kata teman saya. Ada benarnya, tsunami meluluhkan sebagian negeri, awan panas dan lahar muntah dari gunung menghancurkan pertanian, kereta api tak henti bertabrakan, kapal laut terbakar. Belum lagi hakim, jaksa, dan polisi begitu mudahnya disuap oleh seorang pegawai rendahan yang bernama Gayus Tambunan. Sulit tertawa di negeri ini karena yang ada lelucon yang tak lucu.
Namun saya tetap percaya, humor adalah bagian terpenting dari keseimbangan jiwa, dan lewat humor kita bisa membangun negeri ini dari keterpurukan moral--iye he he... keren benar kalimat ini. Ini contoh soal.
Presiden SBY di depan rapat pimpinan TNI dan Polri menyebutkan akan memperhatikan nasib prajurit dengan menaikkan gaji mereka. Niat luhur Presiden itu dinyatakan dengan sungguh, sampai Presiden memberi ilustrasi bahwa gaji beliau selama enam tahun dan memasuki tahun ketujuh tidak naik-naik. Ini adalah bukti, Presiden lebih memperhatikan rakyatnya ketimbang memperhatikan diri dan keluarganya.
Hadirin sudah tertawa mendengar satu kalimat dari puluhan kalimat yang terucap, pertanda humor masih menjadi jiwa dari pernyataan itu. Sayangnya, tertawanya para hadirin tidak direspons Presiden. SBY tetap serius, tetap tegang, bahkan berkata: Betul. Seolah mempertegas keseriusannya.
Apa yang terjadi? Niat baik di balik pernyataan itu seketika berubah makna. Presiden mengeluh soal gaji. Satu kalimat akhirnya berbuntut ribuan kalimat. Negeri gonjang-ganjing. Lawan politik Presiden dari anak baru gede sampai mantan petinggi mencela Presiden, lalu bersitegang dengan lingkaran dalam Presiden. Semuanya serba serius, saling menyindir dan mengobral kebusukan--yang sejatinya adalah kebusukan diri pengobralnya juga.
Humor sudah tewas. Andaikan saya Gayus, eh, SBY, dalam situasi yang khilaf karena kebablasan menyebut gaji tak naik dengan muka tegang, saya akan banting setir kembali untuk menghidupkan humor. Caranya, saya akan menerima dana koin untuk Presiden dengan penuh kegembiraan, termasuk koin dari wakil rakyat di Senayan yang memang senang menyindir meski marah kena sindir. Setelah dana diterima, saya akan menyerahkannya kepada Tukul, Tarsan, Doyok, yang tengah menghimpun duit untuk mengembalikan para TKI dari Arab Saudi. Acara dibuat sehumor mungkin, apalagi bersama pelawak. Bukan balik menyerang. Saya yakin kesalahpahaman akan hilang, ketegangan lenyap karena humor dimunculkan.
Saat ini yang ada lelucon yang tak lucu karena lahir dari saling memukul--persis di televisi. Contoh lainnya, tokoh agama membuat Rumah Kebohongan untuk menghimpun kebohongan pemerintah. Bahasa tokoh agama ini lucu yang memprihatinkan, lalu kebohongan mereka siapa yang memungut? Mari kita hidupkan humor dalam setiap langkah mengelola negeri ini. Wassalam.