Memperbincangkan koin dalam situasi perekonomian saat ini seperti membicarakan sesuatu yang tak berharga. Koin yang dimaksudkan adalah uang logam dalam wujud rupiah. Dulu uang logam itu merujuk pada nilai sen, sementara uang kertas terkecil bernilai satu rupiah. Sekarang ada koin seribu rupiah, anak-anak pun tak pernah mendengar kata sen.
Koin disukai anak-anak untuk menabung, uang logam dimasukkan ke dalam celengan. Lebih praktis dicemplungkan, selain ada nada bunyi, anak-anak suka mengocok celengan itu untuk pamer bahwa dia sudah menabung. Ini pelajaran moral bagaimana anak bangsa ini di masa lalu ditekankan untuk berhemat.
Tapi uang logam sudah tak bernilai. Setahun lalu, anak saya "menyembelih celengan" dari tanah liat dan berhamburan koin yang membuat anak-anak berteriak gembira. Nilainya lebih Rp 40 ribu, dibungkus dua kantong plastik, dan saya mengantarkan ke sebuah bank di kota kabupaten untuk ditukar. Ya, harus ditukar, karena toko sepatu tak mau menerima koin sebanyak itu untuk alat pembayaran. Ternyata bank di kota kabupaten pun tak mau menukar, katanya harus ditukar ke kantor cabang Bank Indonesia yang hanya ada di kota provinsi. Ongkos ke sana sudah di atas nilai koin.
"Polisi cepek", profesi yang dulu hanya ada di Jakarta tapi kini menyebar dari Sabang sampai Merauke, sudah tak mau menerima uang logam "cepekan". Seratus rupiah tak dapat apa-apa. Di minimarket yang bertebaran di pedesaan--pasar tradisional sudah mulai tersisih--kembalian seribu rupiah sudah biasa diganti tiga biji permen. "Maaf Pak, tak ada uang kecil, kembaliannya permen," kata kasir. Pada kesempatan lain, di depan kasir, saya ditanya, "Bapak punya uang seribuan, saya kembalikan sepuluh ribu." Saya bilang tak punya, lalu saya sodorkan tiga permen, "Ini dapat di sini kemarin." Kasir tak mau menerima.
Uang logam diperlukan, tapi uang berbentuk koin ini sudah dinistakan. Bahkan kini koin juga dijadikan alat penista utama untuk menjatuhkan kehormatan seseorang, termasuk presiden, pemimpin tertinggi negeri ini. Ada gerakan pengumpulan koin untuk presiden karena penggeraknya merasa perlu menghina presiden yang disebut-sebut mengeluh soal gajinya yang tidak naik. Bahkan gerakan itu ada di depan ruang rapat komisi hukum Dewan Perwakilan Rakyat, tempat para politikus berdebat kusir.
Lalu gerakan itu dibalas dengan pengumpulan koin untuk wakil rakyat, yang menurut penggeraknya supaya wakil rakyat lebih sejahtera sehingga tak perlu korupsi. Maklumlah, sudah ada 25 wakil rakyat yang dijebloskan ke tahanan, jumlah yang sudah memenuhi syarat untuk sebuah tim nasional sepak bola.
Saya tak bermaksud membela Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam urusan koin ini, karena saya sangat percaya Presiden hanya kebablasan bicara dalam situasi di mana beliau selalu menjadi sasaran tembak. Lawan SBY terus mencari celah untuk menjatuhkan presiden, sampai hal yang sekecil-kecilnya. Saya juga tak membela wakil rakyat dalam urusan koin ini, karena saya semakin percaya, kekurangan para wakil rakyat itu bukan soal sejahteranya, melainkan minimnya etika. Bayangkan saja, sudah belajar etika jauh-jauh ke Yunani plus Turki, pulangnya masih berulah dengan mengusir tamu yang diundangnya sendiri.
Saya hanya usul, rencana penyederhanaan nilai rupiah terus dilanjutkan, sehingga koin punya arti seperti dulu. Apalagi koin adalah sarana pendidikan moral dalam membentuk generasi yang suka menabung, bukan generasi yang menistakan uang--logam maupun kertas--yang akhirnya membuat anak bangsa ini boros dan bermental korup.