Akhirnya Romo Imam tiba juga di tempat tinggal saya, sebuah desa sepi nan asri di lereng barat Gunung Batukaru, Bali. Empat jam lebih saya menunggu. Ada kemacetan, Romo? tanya saya.
Lancar saja. Romo tidak lewat jalur selatan. Romo lewat Bedugul, lalu Singaraja, dan terus ke sini, katanya.
Romo tersesat, kata saya sambil menyilakan duduk. Jangan mudah menuduh orang sesat, itu tidak baik, dan itu bukan bahasa kaum agamawan, jawab Romo.
Saya kaget. Karena Romo mengucapkannya dengan penuh senyum, saya pun tak merasa dimarahi. Mohon maaf kalau Romo tidak tersesat. Lalu kata apa yang baik dipakai? tanya saya.
Memilih jalan yang beda. Pilihan jalan yang beda itu tidak berarti sesat, karena tujuan yang hendak dicapai sama saja, kata Romo. Dalam persoalan memilih agama sesungguhnya adalah menetapkan sebuah keyakinan, dan setiap keyakinan punya jalannya sendiri. Tapi tujuan agama sebenarnya sama saja, kedamaian, kesentosaan, kesejahtraan lahir dan batin, dan kembali ke asalnya, menghadap Tuhan Sang Pencipta untuk kedamaian yang abadi.
Istri saya datang membawa minuman. Romo menyampaikan salam, lalu meneruskan: Sekarang ini banyak pemuka agama yang seenaknya menuduh orang lain sesat. Bahkan sebuah keyakinan yang punya banyak pengikut juga dituduh sesat. Itu tak baik dan memang tak pantas dikatakan, kalau kenyataan yang terjadi hanyalah masalah jalan yang berbeda. Ibaratkan kampung ini adalah rumah Tuhan, tujuan akhir yang hendak dicapai oleh para spiritual. Orang bisa datang dari selatan, dari utara, dari mana saja. Ada banyak jalan, yang penting kan sampai. Kalau orang memilih jalan dari selatan, dia tak bisa menyebut orang yang datang dari utara itu sesat. Kalau mau main tuduh, orang yang memilih jalan dari utara itu juga bisa menyebut orang dari selatan sesat. Kan tak selesai perdebatan ini. Masalah keyakinan tak bisa diperdebatkan seperti itu.
Tapi, Romo, kalau contohnya kampung saya ini, umumnya orang datang dari selatan. Lebih singkat, lebih ramai jalannya, kata saya.
Romo tertawa: Dalam masalah keyakinan, proses mencapai tujuan itu yang justru menarik, dan ini tak bisa diseragamkan. Ada orang yang suka ritual mewah, ada yang ingin ritual sederhana. Ada yang memilih jalan berliku untuk menikmati lebih banyak pemandangan hidup, ada yang ingin cepat mendaki. Orang harus menghormati semua jalan itu, tak boleh ada celaan dan penistaan, apalagi saling mencelakakan.
Saya merenungkan kata-kata Romo yang penuh simbol ini. Tapi memang ada keyakinan yang sesat, kata Romo tiba-tiba, yang membuat saya tersentak. Keyakinan yang membahayakan kemanusiaan, keyakinan yang merusak alam lingkungan, keyakinan yang di luar koridor kedamaian. Contohnya, ada sekte yang mengajak anggotanya minum racun, atau ada sekte yang melakukan seks bebas. Ini jelas di luar kemanusiaan karena mereka mencontoh perilaku binatang.
Jadi, mereka patut diserang atau dibunuh? saya memotong. Romo kaget: Jangan, jangan main bunuh. Memangnya mereka serangga? Mereka itu manusia, tapi sesat. Orang sesat itu justru harus dirangkul, dikasihani, dan diberi petunjuk ke arah yang benar. Kalau tetap nekat dan membahayakan orang lain, baru diberi pembatasan yang sesuai dengan hukum duniawi.
Saya kembali merenung dan kemudian spontan bertanya; Bagaimana dengan kelompok Ahmadiyah, apakah perlu diberi petunjuk jalan? Romo berdiri dan telunjuknya mengarah ke muka saya: Ahmadiyah bukan sesat, mereka hanya memilih jalan yang beda, renungkan sendiri. Romo lalu melangkah menuju perpustakaan.