Nama Nurdin memang top. Ada Nurdin M. Top, teroris yang menyandang top sejak lahir. Kemahirannya melakukan teror dan licinnya bak belut ditaburi oli membuat polisi tak mudah menangkapnya. Tapi, karena leluhur kita mewarisi pepatah sepandai-pandai tupai meloncat sesekali akan jatuh juga, Nurdin toh akhirnya bisa disergap. Dan tewas.
Kini, Nurdin yang paling top tentu saja Nurdin Halid. Ketua Umum PSSI dua periode dan mencalonkan diri kembali ini layak diacungi lima jempol. Sayangnya, jempol tangan dan kaki saya tak cukup untuk itu.
Yang saya kagumi dari Nurdin Halid adalah beliau--saya sebut demikian karena dia orang hebat--tidak tahu malu. Nurdin yang satu ini adalah mantan narapidana, dibui dua kali karena kasus korupsi. Umumnya orang yang saya kenal merasa malu masuk bui, apalagi kasusnya korupsi.
Saya punya kenalan mantan direktur bank pemerintah yang masuk penjara karena korupsi. Ini tuduhan resminya dan dalam vonis pun bunyinya begitu. Namun saya setengah yakin, dia tak korup, setidaknya tak sebanyak yang dituduhkan. Hidupnya sederhana, juga anak dan keluarganya, sampai kini ketika ia sudah menjalani hukuman. Saya jadi percaya, kesalahannya hanyalah masalah kebijakan yang ia lakukan sebagai wakil direktur yang ditekan oleh atasannya, yang juga dihukum. Saya mengajak dia aktif di organisasi keagamaan, dia menolak. Alasannya: Malu, orang tahu saya pernah dipenjara.
Dua hari lalu, sebuah stasiun televisi menayangkan seorang nenek di Simalungun yang dipenjara dua bulan karena mencuri tiga buah jagung milik anaknya. Nenek itu, Maria Boru Siahaan, begitu malu kepada lingkungannya dan trauma setelah dipenjara sehingga tak berani lagi ke ladangnya. Ia hanya menyapu di rumahnya.
Rasa malu tak ada hubungannya dengan etnis. Semua etnis, apakah Batak, Bali, Bugis, Jawa, Jepang, umumnya punya rasa malu, dan itu diwujudkan dengan berbagai cara. Misalnya, mengurung diri di rumah seperti Nenek Maria, tak ingin tampil di depan umum seperti teman saya mantan banker, harakiri seperti di Jepang.
Nurdin Halid? Wow, tidak punya malu--dan ini yang saya kagumi. Pada 2005, politikus Golkar ini dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dalam kasus pelanggaran kepabeanan impor beras Vietnam. Setahun kemudian, ia bebas setelah mendapat remisi. Namun, pada 2007, beliau masuk lagi ke bui, divonis penjara 2 tahun oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi pengadaan minyak goreng.
Di bui, beliau tetap menjalankan tugasnya sebagai Ketua Umum PSSI. Artinya, pengurus PSSI juga ketularan tak tahu malu dipimpin seorang narapidana koruptor. Barangkali ini mempengaruhi prestasi sepak bola kita, merosot terus mutunya. Tapi tak ada pengurus yang merasa berdosa, bahkan terus bertahan selama mungkin, karena tak ada rasa malu itu.
Di Solo, patung Nurdin ditarik sepeda motor. Di Madura, ada keranda bertulisan Nurdin. Di banyak tempat, foto Nurdin dibakar dan diinjak. Poster yang meminta dia turun sebagai Ketua Umum PSSI bertebaran dari Sabang sampai Merauke. Tapi Nurdin tetap tersenyum dan mungkin terbahak-bahak: Hebat kan saya, di mana-mana nama saya disebut. Ratusan orang berkelahi hanya karena saya, ha-ha-ha....
Selain tak punya rasa malu, yang saya kagumi lagi dari dia, eh maaf, beliau, adalah kehebatan menularkan kepiawaian kepada bawahannya. Kepiawaian untuk cuek terhadap kritik dan terus bercokol di PSSI sampai akhir hayat.
Akhirnya, meski saya mengagumi Nurdin Halid, saya tak ingin anak-cucu saya meneladaninya. Rasa malu, juga marah, sedih, senang dan seterusnya, adalah karunia Tuhan.