Apa hubungan koalisi dengan Nyepi? Menurut guyonan yang nyaris kedaluwarsa: Jaka Sembung makan terasi, tidak nyambung sama sekali. Koalisi urusan di ranah politik, Nyepi urusan agama. Hari Raya Nyepi, yang dirayakan umat Hindu kemarin, adalah perayaan Tahun Baru Saka 1933.
Kalau terpaksa disambung-sambungkan, bisa juga. Kemarin Bali ditutup total, baik dari laut maupun dari udara. Bahkan siaran televisi tak muncul--kalau mengandalkan jaringan non-parabola. Suksesnya menutup Bali ini adalah berkat koalisi para pemuka agama. Koalisi yang tak pernah rapuh di Bali.
Saya sering menunggu-nunggu, kapankah umat non-Hindu yang bermukim di Bali melakukan protes karena mereka dipaksa ikut nyepi? Ternyata yang saya tunggu tak muncul. Saya sering membayangkan betapa tersiksanya sahabat yang muslim, Kristiani, Buddhis, dan lainnya, yang seharusnya bisa bebas ke mana saja berjalan, tiba-tiba tak boleh keluar rumah. Sesekali menduga, jangan-jangan banyak di antara mereka yang ngomel: Kok, kami disuruh ikut melaksanakan pantangan yang tidak diajarkan oleh agama kami. Kok, Bali ketat benar menerapkan syariat Hindu, padahal orang Bali tak pernah kami ajak melaksanakan pantangan agama kami.
Setiap menjelang Hari Raya Nyepi, yang saya bayangkan prasangka itu, sehingga kalau saya ditanya bagaimana sebaiknya melaksanakan pantangan Nyepi, saya akan menjawab: Biarkan kita melaksanakan pantangan di tengah godaan.
Tapi ada koalisi di Bali. Dan Bali sukses dijadikan pulau mati. Koalisi antar-agama. Mereka, para pemimpin majelis agama, dengan koordinasi Forum Kerukunan Umat Beragama, selalu berkumpul menjelang Nyepi dan sepakat untuk membuat Bali itu mati. Majelis agama Hindu tentu alasannya ritual. Majelis agama lain alasan awalnya adalah toleransi, namun belakangan membersihkan udara dari polusi menjadi alasan yang lebih ditonjolkan. Dengan sehari semalam tak ada deru mobil, tak ada asap pabrik, lingkungan jadi bersih. Karena itu, muncul ide, bagaimana kalau planet Bumi ini sehari dalam setahun ikut nyepi.
Koalisi Nyepi yang dilahirkan para pemuka berbagai agama di Bali patut dicontoh. Koalisi ini lahir dari kebersamaan pemeluk keyakinan yang berbeda. Kesepakatan yang tak pernah diingkari untuk kepentingan golongan, dan yang penting semua menaati keputusan yang sudah diambil. Tak ada mencla-mencle.
Tentu berbeda dengan koalisi partai politik yang menyokong pemerintah SBY-Boediono. Ini koalisi amburadul. Meskipun sudah dibuat sangat formal pakai teken surat segala, pengingkaran selalu terjadi karena kepentingan sempit golongan. Golkar dan PKS, misalnya, mau untungnya saja, kebagian jatah menteri namun sering menghadang kebijakan pemerintah. Mereka mau ikut memerintah sekaligus mau tetap beroposisi. Ya, ini namanya koalisi sontoloyo.
Contohnya dalam kasus angket pajak. Semua partai sama tekadnya untuk memberantas mafia pajak, hanya caranya berbeda. Yang satu ke jalur hukum yang kebetulan sedang berproses, yang lain ke jalur politik. Tapi politikus Golkar ada yang sesumbar, Ini kemenangan para mafia pajak, ini kekalahan pembela rakyat. Ucapan seperti ini kan tak etis. Bukankah Golkar ikut dalam pemerintahan dan bukan partai oposisi?
Tepat sekali SBY mengevaluasi koalisi. Keluarkan partai yang mencla-mencle. Kemenangan SBY-Boediono ditentukan oleh suara rakyat, bukan oleh partai. Seharusnya, kalau kinerja pemerintah bagus, koalisi dengan rakyat itu yang tetap dijaga. Atau ada sistem yang salah, atau hanya kurang pede?