Putu Setia
Awas ada intel. Kalimat ini muncul di Facebook. Bagai gayung bersambut, ada komentar: Bagi yang merasa dirinya intel, mengaku saja, akan saya delete. Saya suka bercanda, nanti dikira serius.
Beberapa pengguna Facebook memang gelisah mendengar kabar para intelijen akan memantau semua jejaring sosial yang ada di Internet. Kabar ini bukan gosip, bukan pula isu baru untuk mengalihkan isu lama seperti yang biasa terjadi di negeri ini. Ini kabar serius, datang dari gedung parlemen saat memperbincangkan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
Pasal 14 rancangan itu berbunyi: BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional. Dokumen elektronik itu bisa menjangkau jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, mailing list, dan sejenisnya. Sedangkan soal komunikasi bisa berarti penyadapan.
Luar biasa repotnya para intel kita nanti. Karena harus memelototi sekian banyak akun Facebook, Twitter, dan sejenisnya, lalu menyadap pembicaraan telepon, pesan pendek, dan berbagai komunikasi lewat saluran seluler. Belum lagi memilah mana obrolan yang serius dan mana obrolan bercanda.
Terorisme, separatisme, spionase, subversi, dan sabotase memang dikenali ciri-cirinya, meskipun bisa saja beda penafsiran. Tetapi soal mengancam keamanan negara, apa kriterianya? Kalau para intel secara gampangan memanfaatkan kewenangan ini, akan banyak orang dibuat susah. Apalagi kalau sang intel dimanfaatkan oleh kekuasaan, orang akan mudah sekali masuk sel untuk diperiksa. Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pesakitan itu tak terbukti melakukan yang dituduhkan, institusi intelijen dalam hal ini Badan Intelijen Negara akan membebaskannya dalam waktu tujuh hari. Lha, kok enak benar? Mestinya ada ganti rugi, ya, minimal minta maaf. Kalau mau adil, sang intel yang menangkap itu dimasukkan ke sel.
Namun jangan berburuk sangka terhadap para intel, baik intel yang serius dengan penyamarannya maupun intel di masa Soeharto yang celingak-celinguk di kerumunan wartawan dan kadang berbaik hati memperkenalkan diri: Saya intel. Kita membutuhkan aparat intelijen yang kuat. Dalam berbagai kasus kerusuhan maupun ledakan bom yang menimbulkan banyak korban, sering kita menyalahkan aparat intelijen yang tak bekerja dengan baik. Jadi, para intel memang harus diperkuat perlengkapannya dan juga kewenangannya. Masalahnya adalah, bagaimana mempergunakan senjata itu. Seberapa jauh mereka boleh menyadap, apa saja yang boleh disadap, dan bagaimana pertanggungjawabannya atas penyadapan itu. Siapa yang mengawasi mereka. Jangan sampai urusan pribadi yang tak ada kaitannya dengan mengancam keamanan negara juga disadap--apalagi kemudian dijual untuk tayangan gosip di televisi. Ini hanya misal.
Jangan terburu meloloskan rancangan undang-undang yang sangat penting karena menyangkut kehidupan banyak orang ini. Nasihat orang Yogya boleh dipakai kali ini: alon-alon asal kelakon. Diperjelas lagi kewenangan yang mungkin tumpang-tindih dengan instansi lain. Kita punya pengalaman pahit dengan kegiatan intelijen di masa lalu yang hanya jadi alat kekuasaan belaka, tak jelas mana kepentingan negara dan mana kepentingan penguasa untuk mempertahankan jabatannya. Peringatan di Facebook tentang awas intel, siapa tahu kelak berubah menjadi syukur ada intel karena negeri ini tenteram raharja.