Seorang wartawan mewawancarai saya lewat telepon, menanyakan sikap saya soal pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat. Wartawan mewawancarai wartawan tentu jeruk makan jeruk, tapi dia berdalih posisi saya sebagai pegiat sosial di pedesaan. Oo, begitu, saya pun menjawab: Saya tak setuju.
Wartawan itu menyanjung saya, sampai saya berpikir jawaban saya sebenarnya hanya untuk memperkuat apa yang ia mau tulis. Kalau memakai bahasa kasar, dia hendak menggunakan mulut saya untuk opini yang sudah ia rancang. Anda betul-betul peka dengan nasib rakyat. Memang, tak layak wakil rakyat mendapatkan fasilitas berlebihan, sementara rakyat miskin semakin bertambah, katanya.
Telepon ditutup. Astaga, saya tak tahu apa yang akan dia tulis. Mungkin ucapan saya akan dijadikan pembenar pernyataan para politikus atau tokoh-tokoh lembaga sosial masyarakat yang menolak pembangunan gedung itu dengan alasan tak peka terhadap kenestapaan rakyat. Padahal alasan saya bukan itu. Wakil rakyat tak peka itu sudah klise. Parlemen tak memihak rakyat miskin sudah sejak lama. Ada kepentingan tertentu--biasanya soal duitdalam meloloskan pembangunan gedung itu pun sudah umum. Baru tahap merancang saja sudah menghabiskan Rp 14,5 miliar, bagaimana menjelaskannya?
Alasan saya menolak hanya satu: gedung itu bukan untuk anggota DPR, melainkan untuk staf ahli DPR, yang menurut saya pekerjaannya tak jelas. Kalaupun memang dianggap jelas, pekerjaannya tak tecermin dalam produk parlemen.
Sejumlah anggota DPR menyebutkan, ruang kerja mereka sudah sumpek. File bertumpuk-tumpuk, meja staf ahli berdempetan, belum lagi sekretaris. Setiap anggota punya empat staf ahli--ada media yang menyebutkan dua, kesimpang-siuran pertanda tak transparannya staf ahli ini.
Untuk apa seorang wakil rakyat punya staf ahli, apalagi jumlahnya sampai empat? Sekretaris saja, ya, antara perlu dan tidak. Di era Soeharto, saya sering bertandang ke gedung parlemen, ngobrol dengan para wakil rakyat. Satu ruangan diisi empat anggota DPR ditambah satu pelayan serabutan: ya sekretaris, ya penjaga telepon, ya membelikan nasi bungkus di kantin. Sekarang, dengan dalih memperkuat fungsi legislatif, satu anggota punya ruangan sendiri dengan sekretaris pribadi, kemudian diperkuat staf ahli. Hasilnya? Produk legislasi berantakan. Dari 70 rancangan undang-undang per tahun, hanya 14 yang selesai. Jangan-jangan karena keasyikan ngobrol dengan sekretaris.
Kalau betul staf ahli empat orang per anggota, berarti dari 560 wakil rakyat ada 2.240 staf ahli, lalu 560 sekretaris, dan sekitar itu lagi jumlah sopir. Belum tumpukan file, berapa lemari dibutuhkan. Gedung baru 36 lantai itu pun akan sesak. Ini berarti wakil rakyat itu bukan hanya tak begitu ahli sehingga tidak layak jadi anggota DPR, tapi juga gagap teknologi, karena 100 rancangan undang-undang itu sebenarnya cukup dimasukkan ke flashdisk yang bisa dikantongi. Miris mendengarnya, tatkala anak sekolah menengah sudah bisa menciptakan antivirus.
Dalam praktek pekerjaan, keputusan diambil di fraksi atau di komisi sebelum paripurna. Jika mau hemat, staf ahli cukup ada di setiap komisi dan bolehlah pada masing-masing fraksi. Untuk apa Ruhut Sitompul punya empat anggota staf ahli kalau bicaranya masih muter-muter tidak fokus. Untuk apa Deddy Gumelar punya staf ahli kalau penampilannya tak meyakinkan karena masih bergaya Miing Bagito? Apalagi, saat sidang, banyak anggota tidur, mengunyah permen sembarangan, tak pernah bicara. Lalu, apa yang sudah dikerjakan staf ahlinya, kok out-put-nya seperti itu?