Putu Setia
Bergegas saya ke padepokan Romo Imam. Berita yang beredar sangat mengagetkan: beliau terkena serangan stroke. Ketika saya mendekati beranda rumahnya, ternyata Romo asyik membaca buku.
"Lo, Romo sehat walafiat, toh?" Romo tersenyum memandang saya. "Ada isu apa tentang saya?" tanyanya. "Romo terkena stroke," jawab saya.
Romo Imam mempersilakan saya duduk. "Ya, sesekali boleh dong menyebarkan isu. Dengan cara itu, saya punya kesempatan untuk menjawab. Saya mendapat tempat lagi dalam pemberitaan. Kalau terlalu lama saya tak menjadi berita dan masyarakat direcoki terus oleh berbagai isu yang saling menyambung, saya bisa dilupakan, sulit menjaga citra," katanya dengan tenang.
Saya yang kini tidak tenang. Ini permainan apa lagi, pikir saya. "Sudah cuci otak?" tanya Romo tiba-tiba. Saya kaget. "Romo, kenapa otak saya harus dicuci? Saya tak ingin jadi beda, saya masih menghormati orang tua, masih mengakui negara ini dan mencintainya betapa pun buruknya perilaku pemimpinnya."
"Sudahlah," Romo menghentikan suara saya. "Ini salah paham tentang makna cuci otak. Sesekali otak harus dicuci supaya bersih. Caranya dengan berdoa, berzikir kata orang Islam, berjapa kata orang Hindu. Atau melakukan meditasi. Intinya membuang segala kekotoran yang disebabkan oleh prasangka berlebihan, keserakahan, ketamakan, dan segala nafsu buruk lainnya. Sisakan kepasrahan, ketulusan, kejernihan melihat permasalahan, jujur pada hati nurani."
Romo masih banyak mengumbar kata, tapi perhatian saya tak sempurna. "Itu cuci otak yang sejatinya, sangat positif dan harus dilakukan secara berkala. Kalau cuci otak yang dikaitkan dengan gerakan Negara Islam Indonesia yang ramai di media hari-hari ini, itu namanya meracuni otak. Otak seseorang diberi racun sehingga rusak, orang tua dianggap kafir, mencuri dan merampok disebut halal, berzina dan melacurkan diri dianggap wajar, astagfirullah...."
Saya mulai agak tenang. "Apa sih komentar orang nonmuslim tentang NII? Kok, tak terdengar?" tanya Romo, yang mulai berbicara lembut. Saya menjawab, "Sepertinya orang rikuh mengomentari selama ada embel-embel Islam. Kerikuhan yang sama jika mengomentari soal Front Pembela Islam, Tim Pembela Muslim, Ahmadiyah, teror berkedok jihad, dan banyak lagi. Bahkan munculnya ratusan warung yang berlabel muslim di Bali juga tak pernah dikomentari terbuka, meskipun orang Bali heran, kenapa sebuah warung sampai menonjolkan identitas agama. Kan, tak ada 'warung Hindu', bahkan bar Buddha di Jakarta saja diprotes, sekarang kok bertebaran 'warung muslim' sampai ke pelosok desa di Bali."
Romo serius mendengarkan omongan saya. Jadi saya lanjutkan saja, "Apalagi soal NII, saya tak paham di mana posisi pemerintah. NII cerita lama, kampungnya ada, bahkan direportasekan oleh berbagai media. Tokohnya ada, gerakannya ada, korbannya juga ada. Pemerintah mau apa, sih? Sulit membantah jika pemerintah dianggap memelihara NII sebagai 'anak republik' untuk dimunculkan setiap saat kalau ada kebijaksanaan pemerintah yang perlu ditutup-tutupi. NII diperlukan untuk mengalihkan isu...."
Romo tertawa membuat saya berhenti bicara. "Kamu sama saja dengan Oneng, eh, Rieke Diah Pitaloka, yang menyebut kasus NII dibesar-besarkan untuk menutupi aksi buruh hari Minggu ini. Otak seperti ini yang harus dicuci." Romo berhenti sebentar, lalu, "Tapi saya juga tak tahu pemerintah mau apa soal NII ini. Dianggap tak ada, hanya diwaspadai, dipantau saja, dipelihara? Bingung saya."
"Kalau Romo bingung, ikut cuci otak saja," jawab saya spontan.