Putu Setia
Mari santai sejenak. Jangan biarkan otak kita dicuci oleh tayangan televisi yang terus-menerus membuat kita tegang: penyerbuan Usamah, teror bom, jihad, pembalasan Al-Qaidah, Negara Islam Indonesia, dan sederet yang lain. Bukan hanya adegan kekerasan yang diulang-ulang itu yang membuat saya heran, melainkan juga bermunculannya pengamat yang sok tahu segala hal, dan sering memprovokasi atau setidaknya mendukung keradikalan itu. Padahal bumi ini tak sepenuhnya diisi oleh kekejaman.
Mari santai dan berjalan-jalanlah di kawasan pantai utara Jawa atau lazim disingkat Pantura--lo, Jawa-nya mana? Jika mau menyalip truk yang berjalan pelan karena muatannya melebihi kapasitas yang dibolehkan--jembatan timbang tak berfungsi--bacalah graffiti di bak belakang truk. Itu hiburan yang gratis.
Ada teman saya yang mengoleksi berbagai kalimat graffiti itu. Saya tak rajin mencatat, tapi, sebagai "pengamat truk", saya menyimpulkan, kalimat itu selalu menyesuaikan dengan zaman. Pada awal-awalnya graffiti bak truk itu muncul, kalimatnya bernada peringatan. Misal, "Awas, berani nabrak, modar". Menyusul kalimat bernada keluhan, seperti "Pengelana tak pernah kaya" atau "Luntang-lantung bini ditinggal". Urusan wanita--cinta, perselingkuhan, dan sejenisnya--menyusul marak dengan bahasa yang norak dan kadang tak nyambung antarkata. Yang penting ada gambar wanita seksi, kalau mutu gambarnya buruk, ya, seperti kuntilanak dalam komik. Kalimatnya berbunyi, satu contoh saja: "Kutunggu jandamu".
Kemajuan teknologi berimbas pada graffiti truk itu. Muncul "www.wongdesa.com" atau "www.dilarangnyengir.com". Lalu kombinasi, ada tulisan besar, di bawahnya tulisan kecil, seperti yang saya temukan di rumah makan para sopir truk di Pati, Jawa Tengah. Tulisan besarnya "Teroris ingkar janji", di bawahnya yang kecil "www.bego.com". Baik tulisan yang besar maupun yang kecil tak bisa saya pahami--dan jangan sesekali mengulas apa "pesan" tulisan itu, nikmati saja sebagai hiburan.
Saya tanya sopir truk itu, apa maksud "teroris ingkar janji". Dia tertawa, ternyata yang dimaksudkan teroris itu adalah pacar gelapnya yang mulai serong. "Kan teroris lagi ramai diberitakan, ya, pacar saya itu seperti teroris," kata sopir yang sudah punya istri dan dua anak ini. "Saya kenalan dengan dia di fesbuk (baca: Facebook), makanya di bawahnya saya tulis 'bego.com'. Saya memang bego, mudah dikibuli."
Saya kaget. Bisa fesbukan? "Sopir zaman sekarang. Kalau makan di Rembang, fesbukan dulu," katanya. Oh ya, sejak itu saya baru ngeh, ternyata rumah makan di kawasan Lasem (Rembang) sampai Tuban sudah dilengkapi warnet, yang sewanya hanya Rp 2.000 sejam. Para sopir dan krenet berkerumun dan terbahak-bahak di sini. Negeri ini luar biasa majunya.
Karena bisa fesbukan, tentu para sopir itu punya alamat e-mail. Namun mereka mengaku tak punya alamat web. "Bukan kelas sopir itu," jawabnya. Tapi istilah dot com populer di kalangan mereka. Kalau ada yang pinjam uang sama temannya, bilangnya: "ngutang duit dot com". Mereka tahu dot itu simbolnya titik, seperti yang ditulis di bak truknya. Luar biasa, saya betul-betul terhibur di tengah mereka.
Ironisnya, luar biasa pula kalau ada wakil rakyat yang tak tahu alamat e-mail kantornya, atau jangan-jangan dia sendiri tak punya alamat e-mail, apalagi web. Saya tak mengatakan wakil rakyat itu "bego dot com", mungkin saja dia merasa urusan "kecil" itu harus dikerjakan staf ahlinya. Maaf, saya tak bermaksud menyindir, dikritik terbuka saja tak mempan, apalagi disindir.