Mengerikan adalah perasaan yang membuat kita takut. Pengacara kondang O.C. Kaligis menyebutkan, kalau Nazaruddin diperlakukan sebagai sampah dan dijadikan tersangka dalam kasus suap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, ia akan membongkar kasus itu seluas-luasnya. Dan hal itu mengerikan, karena banyak tokoh terlibat.
Saya tersentak, dan saya ingin Nazaruddin pulang segera. Namun saya tidak ngeri. Justru kalau Nazaruddin tak mau balik ke Jakarta, saya lebih ngeri karena kasus ini akan berhenti di tengah jalan. Nazaruddin, lewat Kaligis, jelas mau nantang, mau buka-bukaan apa tidak? Dan jawabannya akan mudah diketahui publik, apakah Nazaruddin akan di-Nunun-kan alias tak berhasil dibawa pulang, atau dijadikan sampah dengan risiko yang mengerikan--versi Kaligis--itu.
Tapi saya tak ingin bicara soal Nazaruddin. Kasihan Partai Demokrat, yang sudah begitu terpuruk. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kata ngeri sudah lama menguap dari batin saya. Jumat pekan lalu, misalnya, tokoh-tokoh nasional plus tokoh lintas agama berkumpul di gedung Muhammadiyah, Jakarta. Dan Kwik Kian Gie menjelaskan, pertemuan ini menyimpulkan negeri ini sudah bangkrut--bukan lagi di ambang bangkrut. Bukankah ini seharusnya mengerikan?
Sejumlah aktivis juga berkumpul di aula Mahkamah Konstitusi, mendeklarasikan pentingnya menyuarakan kejujuran. Kegiatan ini mengapresiasi langkah sederhana Ibu Siami di Surabaya, yang membocorkan aksi menyontek massal dalam ujian nasional sekolah dasar. Jujur itu hebat, demikian slogan yang dibuat. Kata hebat itu dipakai, mungkin karena Siami menerima risiko pengusiran dari warga karena menyuarakan kejujuran. Sesungguhnya ini pun mengerikan, karena bersikap jujur saja--sebuah sikap yang sederhana--tiba-tiba menjadi hebat.
Kalau toh semua itu masih mengerikan, ada tokoh penting terlibat korupsi, ada negeri bangkrut, ada sikap sederhana yang tiba-tiba hilang, yakni kejujuran, lalu apa langkah kita? Hanya melahirkan deklarasi, membacakan pernyataan sikap, menyuarakan keprihatinan? Atau masih ditambah dengan mengumpat pemerintah, yang tak becus menangani masalah? Apakah masalahnya selesai di situ, apakah ini bukan berarti mengatasi masalah dengan melahirkan masalah? Mungkin kita perlu bertanya kepada nurani sendiri, apakah betul kita jujur dalam masalah ini dan jujur pula memihak kepentingan seluruh rakyat, bukan kepentingan yang sempit?
Banyak sekali gerakan yang merespons masalah sosial di masyarakat, namun napasnya tak panjang dan hanya menghasilkan arsip. Padahal rakyat tak perlu arsip.
Menjelang Pemilu 2009, sekelompok tokoh mendeklarasikan Komite Bangkit Indonesia. Gerakan ini jelas ingin menjegal Susilo Bambang Yudhoyono, yang maju lagi menjadi presiden untuk masa jabatan kedua. Ke mana gaung gerakan ini sekarang?
Oke, itu terlalu jauh ke belakang. Januari tahun ini, para tokoh lintas agama membentuk Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan. Badan ini mendeklarasikan dan membuka "Rumah Pengaduan Kebohongan Publik". Sudah berapa karung kebohongan dikantongi gerakan ini, lalu diapakan kebohongan itu?
Pekan lalu, tokoh lintas agama ini memperluas forumnya dan menyimpulkan Indonesia sudah bangkrut. Kalau sudah tahu bangkrut, apa yang dilakukan? Begitu pula deklarasi Jujur itu hebat, sejauh mana melahirkan orang-orang hebat? Jangan-jangan nasibnya akan sama dengan warung kejujuran yang pernah dipopulerkan dan kini sudah hampir bangkrut.
Kita perlu langkah nyata, dan bukan malah kengerian itu kita jadikan sebagai ancaman.