Putu Setia
Selamat pulang ke Tanah Air tercinta, Bung Nazaruddin. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, memang lebih baik di negeri orang. Kota Cartagena di Kolombia sungguh cantik, jauh lebih modern dibanding kota pantai di Indonesia mana pun. Seharusnya Bung Nazar bisa betah di sini, tempat bermukim para petualang, termasuk gembong narkotik dan para mafia. Kolombia negeri yang unik, tapi yang saya kagumi dari negeri ini hanyalah seorang pemain bola yang berposisi sebagai penjaga gawang namun bisa memasukkan gol.
Kini kekaguman saya bertambah satu: polisi lokal Cartagena di Kolombia itu. Begitu mudah menangkap Bung Nazar, yang tadinya bak burung bisa terbang ke mana suka. Mungkin akibat Bung Nazar yang percaya diri dan suka "berkicau" sehingga sangkarnya mudah ditebak. Atau Bung Nazar terlalu percaya polisi lokal Kolombia bisa disuap sebagaimana polisi di negeri lain. Itu dulu, Bung. Polisi Kolombia sudah berbenah, tidak seperti polisi di negeri kita.
Ternyata Bung Nazar diborgol. "Ini memalukan bangsa Indonesia karena seorang anggota parlemen sampai diborgol polisi di luar negeri," begitu salah satu komentar yang saya baca. Ah, itu kan kalau parlemen Indonesia normal. Parlemen kita lagi bermasalah, sudah 40 anggotanya masuk bui, dan mungkin puluhan lagi bermasalah kalau pengusutan dilakukan dengan benar.
Saya tak malu melihat Bung Nazar diborgol. Saya tetap mengagumi dia. Betapa tidak, sebagai ayah yang punya anak seusia Nazar, anak saya tak pernah pegang uang miliaran. Anak saya banyak punya proyek--karena dia arsitek--tapi tak pernah memegang proyek dari dana pemerintah, karena tak tega memberikan komisi kepada orang yang tidak "berkeringat". Anak saya pernah bilang jadi pengagum SBY, yang berdiri paling depan memberantas korupsi. Sampai sekarang? "Ya," katanya, "kagum pada kata-kata SBY doang, tapi tak pernah kagum pada tindakannya."
Kekaguman saya kepada Bung Nazar bertambah ketika mendengar dia menitipkan tas warna hitam kepada Kedubes kita di Kolombia. Tas itu akan menjadi barang penting untuk perjalanan kasus ini, tak peduli warnanya masih hitam atau jadi biru. Kelak, Bung Nazar bisa mengatakan, semua bukti penting yang mendukung keterlibatan orang-orang yang pernah ia sebutkan, ada di tas itu. Di dalam tas itu ada flash disk, cakram, dan hand phone yang menampung bukti otentik bahwa nyanyian Nazar bukan sekadar nyanyian.
Muncul dua skenario soal tas hitam itu, kelak. Pertama, barang penting yang ada di dalam tas itu hilang, meski tasnya sudah disegel. Atau, barangnya tetap ada, namun datanya hilang. Bung Nazar akan menuduh ada orang yang menghilangkan bukti itu, sehingga keterlibatan orang yang pernah disebut Nazar jadi tak punya bukti. Kasus berhenti hanya pada Nazar, yang lain selamat sejahtera.
Skenario kedua, polisi terus mengamankan tas yang sudah disegel itu. Tak pernah disentuh, apalagi dipreteli. Ternyata isinya memang minim dengan kasus yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Tapi Bung Nazar berkukuh tas itu tadinya berisi berbagai dokumen yang membuktikan keterlibatan banyak orang. Dalam hal ini, publik akan lebih percaya pada Nazar--meskipun Nazar terkesan hantam kromo--karena opini publik sudah terbangun, "Pemerintah pasti salah dan berusaha melindungi tokoh-tokoh penting."
Sejatinya, kalau Nazar memang punya bukti, untuk apa barang penting itu ia titipkan segala, kan lebih baik disimpan sendiri. Tapi itulah kehebatan Nazaruddin, manuvernya tak pernah mati, dan Kedubes kok mau terima titipan.