Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Multitude

Oleh

image-gnews
Iklan

Siapa yang memimpin para pemberontak yang menggedor Tripoli? Siapa yang mengomando ribuan orang yang menjatuhkan Mubarak dari Lapangan Tahrir di Mesir, mengerahkan ribuan orang yang memprotes di Puerta del Sol di Spanyol, dan mengarahkan demonstran yang menuntut demokrasi di jalanan kota Hamas di Suriah?

Tidak ada.

Belum ada.

Entah.

Mereka ibarat "orkes tanpa dirigen, yang akan terdiam bila ada yang naik ke podium".

Dengan perumpamaan itu mungkin kita bisa lebih mengerti apa yang terjadi: Michael Hardt dan Antonio Negri dalam Commonwealth, buku terakhir dalam trilogi mereka, menggunakannyasebuah perumpamaan yang bisa menggambarkan apa yang mereka maksud dengan multitude. Istilah ini belum bisa saya terjemahkan; ia identitas yang dimaksudkan untuk menggantikan pengertian Marx tentang proletariat.

Bagi Hardt dan Negri, Marx tak bisa lagi menjelaskan apa yang terjadi di dunia sekarang. Hidup tiga abad yang lalu, Marx menemukan lapisan manusia yang paling menderita (dan sebab itu juga paling berpotensi untuk menjadi pembebas) di kalangan buruh yang diisap tenaganya di pabrik-pabrik.

Namun sejak awal abad ke-20 Marxisme sebenarnya telah masuk ke dalam satu pengalaman yang ganjil: para penganutnya ternyata berhasil membuat sejarah justru di negeri di mana tak banyak buruh di pabrikdi Rusia, Cina, Korea, Kuba.

Belum bisa dikatakan bahwa analisis Marx keliru; tapi memang datang pengalaman lain: kapitalisme tak juga runtuh, bak Drakula (saya suka kiasan Zizek ini), si pengisap darah yang tiap dicoba dibunuh tetap saja tak mati. Akhirnya Marxisme juga menyaksikan bahwa pembebasan berlangsung bukan cuma oleh proletariat, yang dianggap wakil tunggal penderitaan manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang pemikir "post-Marxis' menunjukkan bahwa tak hanya ada satu pembebasan. Emancipations, tulis Laclau, dengan s. Kaum Hitam di Amerika Serikat memerdekakan diri pada tahun 1960-an, kemudian kaum perempuan pada tahun 1970-an. Kemudian orang-orang kulit berwarna di Afrika Selatan. Sementara orang Palestina terus menerjang penjajahan Israel, di Iran terjadi pembebasan yang menemukan lambangnya pada Ayatullah Khomeini. Dan perlawanan buruh di Polandia terhadap Partai Komunis.

Gerakan emansipasi yang bermacam-macam itu menyebabkan kita sulit meletakkan proletariat sebagai kelas yang memimpin. Tapi tak berarti yang "bermacam-macam" itu tak berkaitan sama sekali. Perempuan, Hitam, Palestina, Iran, Islamis, orang Katolik dan Protestan di Irlandia, penganut Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesiamereka menanggungkan penindasan yang berbeda-beda, tapi semuanya tak bisa mengelak dari dampak modal. Mereka harus hidup dengan komoditas, benda-benda yang akhirnya dibentuk oleh nilai tukar, dan nilai tukar yang diaktualisasikan dalam uang.

Dengan kata lain, meskipun proletariat bukan pelaku sejarah yang istimewa, resistansi terhadap kekuasaan kapital dan negara yang mendukungnya bukan sebuah perjuangan yang kedaluwarsa. Hanya, kita kini hidup dengan "kerja imaterial" yang praktis menguasai semua: informasi, komunikasi, pengetahuan, jasa. Kerja tak lagi bisa diukur dengan waktu yang tetap, dan masa senggang dan masa kerja jadi kabur. Kerja merasuki semua sudut kehidupan sosial. Produksi kini jadi "biopolitikal". Mana yang lebih "menderita" atau "enak" tak bisa ditentukan dengan mudah, dan jaringan pun terjalin di antara mereka yang terlibat dalam produksi biopolitikal itu.

Maka tak ada proletariat yang tersendiri. Yang ada multitude. Di dalamnya kita temukan kesetaraan, orang-orang yang mengembangkan diri sebagai pelaku, sebagai subyek, tapi bekerja sama dalam jaringan yang berlangsung dengan adil dan bebas. Tak ada dirigen, tak ada komandan, tak ada penyambung lidah.

Mungkinkah multitude itu yang tampak di Libya, Mesir, Suriah, Spanyol belakangan ini? Tapi seberapa lama bertahan orkes tanpa dirigen itu? Akankah mereka membisu jika kemudian seseorang muncul dengan tongkat mengarahkan? Tidakkah ia sebenarnya sebuah himpunan yang retak-retak, dan mengandung antagonisme? Mungkinkah sebuah revolusi hanya lahir dari gerak yang spontan, tanpa organisasi yang matang? Apa jadinya Revolusi Oktober 1917, andai tak ada partai pelopor, andai Lenin tak membentuk kelompok revolusioner yang bergerak dengan teori: kaum Bolsyewik?

Tiap kali sebuah gerakan pembebasan menghadapi musuh, tiap kali biopower yang berkuasa menindas, kaum revolusioner membentuk identifikasi "kita" dan "mereka". Pada saat itu wacana pun disusun. Pada saat itu ada satu segmen dalam gerakan itu yang punya wibawa atau kekuasaan untuk menentukan apa itu "kita". Belum lagi ketika organisasi diperlukan, baik untuk mengatur perang maupun untuk bernegosiasi.

Perlawanan multitude, jaring-jaring yang batasnya tak kedap, memang bisa mengesankan. Tapi dalam tiap gerak politik emansipasi terkandung titik yang tragis: kebersamaan yang sama-rata-sama-rasa itu akan berlalu. Untung, ada yang menghibur dalam sejarah manusia: kemungkinan adalah kemungkinan, bukan takdir. Manusia bisa secara kreatif memanfaatkannya.

Itu sebabnya di Libya, Mesir, Suriah, Palestina, dan lain-lain orang tampak sedang membuka jalanbernama harapan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Gubernur BI Pastikan Stabilitas Rupiah Terjaga

2 menit lalu

Ilustrasi mata uang Rupiah. Brent Lewin/Bloomberg via Getty Images
Gubernur BI Pastikan Stabilitas Rupiah Terjaga

Per hari ini di Google Finance, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pukul 09.27 WIB berada pada level Rp 16.282.


Kim Sae Ron tak Jadi Tampil di Teater Dongchimi, Mengenal Pementasan Ini

6 menit lalu

Aktris Korea Selatan, Kim Sae Ron. Instagram/@ron_sae.
Kim Sae Ron tak Jadi Tampil di Teater Dongchimi, Mengenal Pementasan Ini

Kim Sae Ron mengundurkan diri sebagai pemain teater Dongchimi, karena masalah kesehatan


KPK akan Periksa Bupati Sidoarjo Hari Ini, Minta Gus Mudhlor Kooperatif

6 menit lalu

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali melakukan orasi di parkir selatan Ponpes Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis 1 Februari 2024. ANTARA FOTO/Umarul Faruq
KPK akan Periksa Bupati Sidoarjo Hari Ini, Minta Gus Mudhlor Kooperatif

KPK rencananya memeriksa Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor sebagai tersangka korupsi hari ini


Perhatikan Jumlah Tanduk Kambing di Atap Rumah Limas Palembang, Ini Filosofinya yang Penuh Makna

11 menit lalu

Pada bagian atap Rumah Limas terdapat ornamen menyerupai tanduk kambing dengan jumlah beragam. Jumlah tersebut melambangkan manusia dan Islam. TEMPO/Parliza Hendrawan
Perhatikan Jumlah Tanduk Kambing di Atap Rumah Limas Palembang, Ini Filosofinya yang Penuh Makna

Rumah Limas dibangun dengan perencanaan matang dan penuh dengan pesan moral dan filosofi yang dapat diambil hikmahnya. Salah satunya, di bagian atap rumah Limas terdapat ornamen menyerupai tanduk kambing dengan jumlah beragam.


Dugaan Infeksi Cacar Monyet di Jayapura, Epidemiolog: Lesi Bisa ke Alat Kelamin

11 menit lalu

Cacar monyet. WHO
Dugaan Infeksi Cacar Monyet di Jayapura, Epidemiolog: Lesi Bisa ke Alat Kelamin

Cacar monyet atau Mpox bukanlah penyakit yang berasal dari Indonesia.


Demo di Patung Kuda, Pendukung AMIN Minta MK Diskualifikasi Gibran

11 menit lalu

Massa yang tergabung dalam Aksi 164 menggelar unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa 16 April 2024. Dalam aksinya massa menuntut Mahkamah Konstitusi memutus sengketa Pilpres 2024 dengan adil. Aksi ini merupakan respons masyarakat terhadap kecurangan yang terjadi dalam kontestasi Pilpres 2024. TEMPO/Subekti.
Demo di Patung Kuda, Pendukung AMIN Minta MK Diskualifikasi Gibran

Pendukung pasangan calon presiden nomor urut satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau AMIN, berunjuk rasa jelang putusan MK soal gugatan pilpres


4 Rekor Baru Shin Tae-yong Bersama Timnas U-23 Indonesia di Piala Asia U-23 2024

18 menit lalu

Pelatih timnas U-23 Indonesia, Shin Tae-yong, saat konferensi pers menjelang laga melawan tuan rumah Qatar di Piala Asia U-23 2024. Kredit: Tim Media PSSI
4 Rekor Baru Shin Tae-yong Bersama Timnas U-23 Indonesia di Piala Asia U-23 2024

Shin Tae-yong bersama timnas U-23 Indonesia mencatatkan empat rekor baru di Piala Asia U-23 2024 setelah kemenangan 1-0 atas Australia di laga kedua.


Kenali Penyebab dan Kiat Menangani Anak yang Gemar Berbohong

25 menit lalu

Kebiasaan Anak Berbohong
Kenali Penyebab dan Kiat Menangani Anak yang Gemar Berbohong

Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan ketika mendapati anak berbohong.


Dugaan Serangan Israel di Isfahan, Iran: Hanya Burung Kecil

32 menit lalu

Komandan Militer Iran Nyatakan Siap Hadapi Serangan Israel
Dugaan Serangan Israel di Isfahan, Iran: Hanya Burung Kecil

Militer Iran memastikan bahwa suara ledakan yang terdengar di Kota Isfahan bukan serangan peluru kendali Israel tapi suara sistem pertahanan udara.


Survei LSI Usai Pemilu: 76,2 Persen Masyarakat Puas dengan Kinerja Jokowi

33 menit lalu

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam pemaparan hasil survei yang dipantau secara daring dari Jakarta, Rabu 30 Agustus 2023. ANTARA/Fath Putra Mulya
Survei LSI Usai Pemilu: 76,2 Persen Masyarakat Puas dengan Kinerja Jokowi

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, menyebut hasil survei LSI menunjukkan tingkat kepuasan kepada kinerja Presiden Jokowi berada di angka 76,2 persen.