Putu Setia
Sejak awal puasa, saya tak bertemu dengan Romo Imam. Rupanya, kami sama-sama kangen. Romo lalu mengundang saya ke padepokannya untuk berbuka bersama. Saya datang lebih awal, dengan maksud bersedia ikut repot di dapur.
"Ibu tak usah dibantu. Bantu saja Romo membuat surat untuk SBY," kata Ibu Imam. Saya melihat Romo sudah siap dengan kertas dan pulpen. "Surat ditulis tangan lebih orisinal," kata Romo. "Kalau surat Nazaruddin ke SBY ditulis di komputer, kan jadi pertanyaan, siapa yang mengetik, siapa yang mengkonsep. Kecurigaan sudah membayangi negeri ini sampai ke sudut-sudut terkecil."
Saya duduk di sebelah Romo. "Saya ingin surat ke SBY sesopan mungkin. Saya tak ingin memaki, tak ingin saling tawar. Banyak sekali orang memaki saat ini, meskipun bulan puasa. Tapi negeri ini tak akan bisa jadi baik dengan memaki saja. Ada begitu banyak tawar-menawar antarkomponen politik, kasus Century ditawar lumpur Lapindo, wah, banyak lagi. Tapi persoalan bangsa ini tak bisa disandera oleh kasus. Menegakkan hukum adalah tawaran yang terbaik."
Romo memperbaiki letak kertas, siap menulis. "Kalau Nazaruddin saja bisa menulis surat kepada SBY, kenapa saya tidak? Memang saya bukan tokoh. Kalau saya ditahan, tak akan mungkin dikunjungi anggota DPR ke sel, tak akan mungkin diposisikan sebagai pahlawan."
"Nazar seorang aktor," kata Romo kemudian. "Dulu ia berkicau menyebut banyak nama, memperlihatkan banyak benda, seolah-olah semua kebenaran ada di benda itu. Lalu benda itu seolah-olah ada di dalam tasnya, dan tasnya dititipkan. Tiba-tiba bendanya dinyatakan raib. Politikus dan pengamat yang gemar memaki pemerintah memanfaatkan keaktoran Nazar ini. Penjemput Nazar disebut menghilangkan barang bukti, Nazar disebut berada dalam ancaman. Bahkan, gelinya, dipercaya kalau dua hari tak makan karena takut diracun. Televisi membantu sepenuhnya keaktoran Nazar. Namun penonton jadi muak, karena sesungguhnya Nazar bukanlah aktor hebat, ia hanya dibuat seolah-olah hebat oleh sekelompok orang yang menggunakan Nazar sebagai peluru untuk memaki pemerintah."
Romo siap menggerakkan pulpennya. "Yang mendorong saya menulis surat kepada SBY adalah surat Nazar yang meminta istri dan anaknya diberi ketenangan lahir dan batin, tidak diproses dalam kasus apa pun. Saya ingin memberi saran kepada SBY, jangan hiraukan itu. Kalau istrinya tak bermasalah, kenapa pula diproses? Tapi, kalau memang bermasalah, kenapa tidak diproses? Jika ingin memberi ketenangan kepada keluarga, berbuatlah jujur di dunia ini, jangan mencari kekayaan di jalan setan, carilah uang halal."
Romo minum seteguk air. "Yang menyakitkan dari surat Nazar kepada SBY itu adalah dia menghina akal sehat seluruh bangsa. Dia bersedia dihukum tanpa disidik, dia bersedia tak menceritakan apa pun yang bisa merusak citra Partai Demokrat, asalkan istrinya tenang. Seolah-olah dia punya rahasia besar tentang Partai Demokrat tetapi tak mau bicara asal ada imbalannya."
"Pemerintah memang dalam puncak kegalauan," kata Romo, melemah. "Penegak hukum salah tingkah melulu, presiden dan menterinya juga gamang, parlemen dikuasai politikus yang penuh ambisi kekuasaan buat kelompoknya, televisi mengejar rating dengan menampilkan orang-orang yang pinter berdebat kusir. Tapi apakah memperbaiki keadaan itu cukup dengan memaki? Apalagi yang memaki itu bukan pula orang yang bersih dari kesalahan."
Saya mengumpulkan keberanian untuk bicara: "Romo, menulislah. Kita tak punya jabatan untuk memaki, kita tak laku di televisi, takdir kita hanya bisa menulis. Ayo menulis."