Putu Setia
Mau ikut mudik, tak mungkin. Masalahnya, saya sudah tinggal di udik. Jadi, memang tak perlu mudik. Toh, nikmatnya mudik masih bisa saya pantau lewat celotehan para sahabat di Facebook, Twitter, dan pesan pendek, yang semuanya jadi mudah dengan telepon seluler.
Ada sahabat yang bilang, rekor tertinggi selama mudik dari Jakarta ke Karanganyar, Jawa Tengah, adalah 36 jam perjalanan. "Itu tahun lalu. Kalaupun sekarang lebih, tetap merupakan kenikmatan," tulisnya di Facebook.
Saya tak sulit membayangkan kenikmatan itu. Pemudik bermobil biasa saling serobot. Mereka tahu dengan saling serobot akan membuat kemacetan bertambah parah. Tapi di situlah nikmatnya mudik. Bagi keluarga tukang serobot, sang ayah yang menyetir berlagak pahlawan karena berhasil melalui puluhan mobil lain. Lalu sang anak berteriak "Papa hebat" ketika mobil menyelinap dengan paksa ke depan mobil yang antre, padahal ruangnya terbatas.
Sebaliknya, bagi pemudik sopan, di situ pula nikmatnya. Mereka mematikan mesin mobil tatkala antre panjang, lalu berjalan-jalan di sekitar kemacetan. Ketika ada mobil yang melesat main serobot, mereka berteriak memaki-maki, seisi kebun binatang berhamburan disebut: dasar monyet, dasar kadal, buaya lu. Seolah-olah sumpah serapah itu tidak membatalkan puasa. Yang dimaki tak mendengar, karena mobilnya sudah berjarak jauh.
Perilaku anak bangsa di perjalanan mudik sama sebangun dengan perilaku bapak bangsa dalam menyetir negeri ini. Yang penting, kekuasaan di tangan, artinya proyek juga di tangan, paling tidak di tangan kelompoknya. Menyerobot anggaran sejak di parlemen, menikung tender di kementerian, menghamburkan uang komisi tanpa peduli mutu proyek jadi kurang. Semuanya dilakukan dengan pujian: "Papa hebat, Bapak hebat, kalian hebat." Tak peduli ada sejumlah orang memaki, karena yang memaki dan yang dimaki berjarak.
"Aku sempat tidur, enak sekali, baru di Tegal," begitu pesan pendek dari sahabat yang naik kereta api. Ia pulang ke Purworejo, dan di Stasiun Senen sudah menginap sejak tengah malam tadi. Saya tak tahu apa dia tidur di kursi, telentang di lantai, atau tidur berdiri di depan WC. Apa nikmatnya? "Ya, rasanya berada di dunia lain, tak ada Nazaruddin, tak ada O.C. Kaligis, tak ada KPK. Ternyata tidak menonton TV dan tak membaca koran jauh lebih nikmat," tulisnya lagi.
Saya sempat tergelak. Rupanya, sebagian orang sulit menghindar dari Nazaruddin. Padahal ini pasti masuk skenario, bagaimana memunculkan berbagai manuver agar kasus ini berpanjang-panjang sampai rakyat muak sendiri. Minimal, akar kasusnya berbelok pada saat rakyat muak, dari korupsi besar-besaran yang melibatkan mafia anggaran di parlemen menjadi serpihan kisah-kisah tentang "kegenitan" Nazaruddin.
"Bung, nikmat juga mudik pakai bus gratis sumbangan partai. Berdosa enggak, ya, padahal seumur-umur aku enggak pernah nyoblos partai itu," tulis pesan pendek dari sahabat yang lain. Saya tak menjawab, karena saya yakin dia tak butuh jawaban. Ia pasti tahu, partai yang menyediakan bus gratis itu pun tak meminta balas jasa untuk dicoblos. Pemilu masih jauh. Ini hanya sekadar politik pencitraan. Uangnya belum tentu murni dari partai, bisa dari pengusaha-pengusaha yang menjadi--atau dekat dengan--politikus. Ya, sejenis Nazaruddin itulah.
Perjalanan mudik adalah perjalanan yang nikmat, meski tak membuat kita sejahtera. Sama sebangun dengan nasib perjalanan bangsa ini, tak pernah menyejahterakan rakyat, namun toh dinikmati oleh warganya, apa adanya. Selamat berlebaran di udik, maaf lahir-batin.