Putu Setia
Mohon maaf lahir-batin. Meski terlambat beberapa hari, bukalah pintu maaf untuk saya, Romo.
Romo Imam tertawa renyah menyambut salam saya itu. Kami bahkan berpelukan. "Dulu, waktu kita sama-sama di Yogya, selama bulan Syawal ini, ya, kita berkeliling meminta dan memberi maaf. Namanya saja Syawalan. Tak ada yang terlambat," ujar Romo.
"Ini Lebaran yang sangat berkesan. Lebaran terhangat," kata Romo lagi. Saya masih diam, sengaja membiarkan Romo mengenang hari-hari kemenangan itu. "Awalnya sih hampir kacau, orang tua dan anak-anak tidak akur. Tapi akhirnya ada kesamaan."
"Lo, ada cerita apa?" saya mulai curiga ada sesuatu yang terjadi. Romo menjelaskan, keluarga dan tetangganya sudah takbiran pada Senin. Mereka yakin Lebaran jatuh pada Selasa. Apalagi ada berita di televisi, hilal sudah dilihat oleh pengamat di Cakung dan Jepara. "Anak-anak sudah takbiran. Ibu sudah merebus ketupat. Ternyata pemerintah memutuskan Lebaran itu Rabu, dan berita itu sudah pukul 9 malam lebih di Bali. Takbiran sudah berlangsung, ketupat hampir matang, bingung, kan?" ujar Romo.
Wah, ini cerita yang sudah malang-melintang di kalangan bawah. "Apa sikap Romo?" tanya saya, sebenarnya hanya basa-basi. "Kami sekeluarga kumpul. Saya dan Ibu ingin tetap Lebaran Selasa, tapi anak-anak ingin mundur ke Rabu. Alasannya mematuhi aturan pemerintah," ujar Romo.
Romo menyebutkan sempat membawa istrinya ke kamar, berdiskusi berdua. Istrinya berkukuh Lebaran Selasa dengan alasan banyak orang yang melakukannya. Alasan lain, semua penganan sudah siap. Tapi Romo terusik oleh alasan anak-anaknya: mematuhi pemerintah. Patuh kepada pemerintah adalah sikap yang sangat bijaksana dan selalu dianjurkan oleh Romo. "Akhirnya saya punya peluru, kepada istri saya katakan, kalau kita Lebaran Selasa dan anak-anak Lebaran Rabu, siapa yang sungkem pada Selasa? Padahal tradisi kita sejak di Yogya, sungkem itulah awal dari nikmatnya makan ketupat." Romo tertawa.
Ya, ujungnya happy ending, keluarga ini Lebaran Rabu. "Jadilah Lebaran terhangat," kata Romo, masih diselingi tawa. "Ketupat dihangatkan, opor ayam dihangatkan lagi, semua kue basah kembali dihangatkan."
Saya ikut tertawa. "Umat Islam di Indonesia luar biasa. Perbedaan pun disikapi dengan tertawa, benar-benar patut dicontoh dunia," kata saya. Romo malah berhenti tertawa. "Ya, tapi menjadi tertawaan umat Islam negara lain, menentukan Lebaran saja ributnya bukan main, dan nyeleneh lagi. Negara-negara Islam lainnya semua Lebaran Selasa," ujar Romo.
Saya tak bisa berbasa-basi lagi. Dalam hati, saya juga heran, kenapa perhitungan hari yang didasarkan pada peredaran bulan begitu rumit di tengah teknologi yang canggih. Kalender Bali yang dibuat puluhan pemuka Hindu yang didasarkan pada tahun Saka, yang juga memakai pedoman peredaran bulan seperti tahun Hijriah, menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 Agustus. Dalam tahun Saka, bulan mati dan bulan purnama bisa dihitung untuk seratus tahun ke depan atau lebih, kalau mau. Namun keheranan itu saya pendam, takut disebut sok usil mengurusi orang lain, karena saya nonmuslim.
"Yang penting, hikmahnya bisa dipetik, umat Islam tetap berada dalam kemenangan sejati, menjadi contoh bagaimana perbedaan itu disikapi dengan bijaksana dengan tetap menaati keputusan pemerintah," kata saya, kali ini bukan basa-basi.
"Ya, tapi pemerintah juga harus belajar bagaimana membuat keputusan yang tepat dalam waktu yang tidak mepet. Nusantara ini luas, sore di Jakarta jadi malam di Jayapura," ujar Romo.