Putu Setia
Seumur-umur saya belum pernah melihat setan. Baik setan yang gundul maupun yang gondrong. Ketika saya kecil, ayah pernah bertutur, saya tak mungkin bisa melihat setan. Alasannya, keluarga saya ditakdirkan hidup "mengabdi" kepada Tuhan. Setan dan Tuhan itu bermusuhan, salah satu harus diikuti. Alasan yang sederhana. Toh naluri wartawan yang ingin serba tahu membuat saya penasaran, bagaimana wujudmu, wahai setan?
Meski tak pernah lihat, mendengar kata setan sering. Setan untuk mengumpat dan setan untuk menyindir, misalnya. Ketika Gayus Tambunan, terpidana pembobol uang pajak yang cerdas itu, menyerahkan miliaran rupiah uangnya untuk digandakan di penjara, seorang teman mengumpat: "Dasar setan semuanya, kekayaan dihamburkan di tengah penduduk yang antre air minum." Teman yang lain hanya menyindir: "Uang haram, ya, dimakan setanlah."
Saya tak ingin mengumpat atau menyindir. Saya bertanya dalam hati, seandainya setan itu memang ada, pasti yang membawa uang itu ke penjara Cipinang adalah setan berdasi. Mustahil manusia seperti saya. Alasan saya sederhana: uang miliaran rupiah itu dibawa ke penjara, masak sih petugas penjara tak curiga? Atau alur pikirnya sederhana begini. Rekening Gayus itu semua diblokir, seharusnya ia jadi miskin. Bagaimana mungkin masih punya harta Rp 4 miliar lebih kalau uangnya itu tidak dititipkan dulu pada setan sebelum diblokir?
Pikiran sederhana saya pun berlanjut: jangan-jangan semua koruptor itu berteman dengan setan, atau koruptor itu sendiri adalah setan yang sebenarnya? Waduh, mudah-mudahan tak ada orang yang "mendengar pikiran" saya ini.
Kembali ke setan gundul. Permadi--politikus PDI Perjuangan yang loncat ke Partai Gerindra--menyebut ada setan gundul dalam kasus Antasari Azhar. Karena saya tahu Permadi dekat dengan dunia paranormal, tentulah setan gundul itu memang ada, dan yang paling penting ada dalam kasus Antasari. Permadi yakin, kasus Antasari Azhar direkayasa dan hakim menjatuhkan putusan 18 tahun penjara hanya karena pesanan setan gundul. Kenapa setan gundul itu dendam kepada Antasari? Karena--ini kata Permadi, bukan kata saya--ada tiga kesalahan besar Antasari. Pertama, hendak mengusut kasus IT pemilu. Kedua, hendak mengusut kasus Bank Century. Ketiga, menangkap dan memenjarakan Aulia Pohan, Direktur Bank Indonesia yang besan Presiden SBY.
Karena pikiran saya sederhana, saya tak bisa mengira setan gundul yang dimaksudkan Permadi. Tapi, dalam kasus Antasari Azhar ini, saya pun setuju ada yang janggal dalam persidangan sejak di pengadilan negeri. Misalnya soal barang bukti, soal penanganan jenazah Nasrudin Zulkarnaen, dan banyak lagi seperti yang sudah tersiar serta yang juga ditemukan oleh Komisi Yudisial. Namun saya tak mau menyebut ini "peradilan sesat" seperti yang diucapkan sahabat lama saya, Jimly Asshiddiqie. Bung Jimly pantas mengatakan begitu karena dia profesor hukum. Saya hanyalah orang yang pernah belajar hukum, jadi cukup menyebut "peradilan janggal".
Nah, harapan saya, kejanggalan itulah yang kini harus dijelaskan dalam sidang peninjauan kembali. Hakim PK seharusnya tak perlu takut ada pesanan dari setan gundul. Bukankah Aulia Pohan sudah bebas, bukankah hasil Pemilu 2009 sudah dinyatakan sah dengan penghitungan manual bukan dengan alat canggih, dan bukankah kasus Bank Century sudah "selesai secara politik"? Siapa tahu setan gundul yang disebut Permadi itu sendiri sudah lupa. Artinya, mari tuntaskan kasus Antasari Azhar ini dalam koridor hukumnya yang sejati, tanpa melibatkan setan-setan.