Putu Setia
Salah satu kata yang saya benci adalah mogok. Kalau saya hendak menemui seseorang di suatu tempat--dan kebiasaan saya adalah tak mau terlambat--lalu mobil mogok, ini paling saya benci. Mogok, seperti halnya macet, memang bisa dijadikan alasan untuk terlambat. Tapi alasan itu pun saya hindari, seolah-olah risiko itu tak pernah diperhitungkan.
Kalau buruh pabrik mogok, saya bisa memahami. Buruh itu manusia, bukan barang mati seperti mobil. Pasti ada alasan mengapa mogok, dan pasti alasan itu sudah mereka informasikan, tapi mungkin tak digubris. Artinya, ada proses komunikasi, cuma macet tak terjadi kesepakatan. Beda mobil dengan buruh adalah yang satu benda mati, yang satu punya hati.
Apa pun, akibat mogok, kerugian terjadi. Pemogokan ribuan karyawan tambang PT Freeport Indonesia menyebabkan kerugian triliunan rupiah, dan kerugian itu mempengaruhi pemasukan negara. Jadi, kalau memang bisa memilih, jangan mogok. Orang cerdas bayar pajak, orang pintar hindari mogok.
Bagaimana kalau wakil rakyat kita di Badan Anggaran mogok? Tugas pokok mereka adalah membahas anggaran pendapatan belanja negara. Kebetulan saat ini pemerintah sudah menyampaikan anggaran itu untuk tahun depan, dan dalam beberapa bulan ini harus mendapatkan persetujuan. Kalau anggaran itu macet, segala hal yang menyangkut kehidupan 200 juta manusia di Indonesia akan ikut seret.
Dalam kasus mogoknya anggota Dewan ini, terus terang saya sulit berkomentar. Kalau anggota Dewan itu saya ibaratkan mobil, apa pantas? Mereka bukan "benda mati", yang tak bisa berkomunikasi, tak punya hati, tak punya perasaan, tak punya tanggung jawab. Jika disejajarkan dengan buruh pabrik, apa ya mau? Bukankah mereka selalu disebut dengan embel-embel "yang terhormat"?
Memang, pernyataan mereka juga tak ubahnya seperti pernyataan para buruh. Ketika ada pemogokan massal di sebuah pabrik di Tangerang, pimpinan serikat buruh berkata: "Kami tidak mogok, kami hanya tak mau bekerja sebelum gaji disesuaikan." Bandingkan dengan pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso. Beliau membantah ketika anggota Badan Anggaran disebut mogok membahas anggaran. Badan Anggaran hanya mengembalikan mandat. Rupanya, baik buruh pabrik maupun "buruh terhormat" sama-sama membenci kata mogok, meskipun sama-sama emoh kerja.
Yang menarik adalah kata-kata "mengembalikan mandat" itu. Seharusnya ini disikapi dengan serius oleh rakyat Indonesia, yang menempatkan wakilnya di sana. Saya berpikir, baik juga kalau rakyat menerima pengembalian mandat itu. Dengan dikembalikannya mandat itu, anggota Badan Anggaran--anggota lain yang mengikuti boleh juga--bisa dengan lekas keluar dari Senayan. Rakyat, melalui mekanisme aturan main yang pasti ada celahnya, akan menempatkan orang baru di Badan Anggaran yang siap setiap saat menerima mandat dari rakyat. Apa mandat dari rakyat? Bekerja untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kesejahteraan pribadi dan golongan.
Rakyat Indonesia perlu wakil yang tahan uji, bekerja keras, jujur, dan mengabdi kepada bangsa. Bukan wakil rakyat yang sok berkuasa, bermewah-mewah, suka berkoar-koar yang hanya mengeruhkan situasi, dan mudah tersinggung. Kalau hanya dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, ditanya ini dan itu yang menyangkut pengelolaan anggaran, kenapa harus kesal? Panggilan itu bukan penyelidikan, apalagi penyidikan. Sekadar bertanya karena di badan itu asal-muasal berbagai mafia tender terjadi. Kalau gara-gara begitu saja tersinggung, lalu "tak mau kerja", ya, sekalian saja hengkang dari Senayan. Wassalam.