Putu Setia
Serial infotainment produksi Puri Cikeas tentang "Perombakan Kabinet" terus berlanjut. Cuma apakah pemirsanya tetap tinggi atau sudah mulai jenuh belum ada survei. Yang jelas, tayangan ini belum mencapai puncak, belum ketahuan apakah berakhir happy ending atau tragedi.
Seperti yang sudah dilihat, episode awalnya berjudul "Presiden Berencana, Partai Mengancam". Kisahnya tentang rencana Presiden memperbaiki kinerja kabinetnya. Ada beberapa menteri yang nilai rapornya merah, hanya sedikit yang biru atau hitam--bergantung pada jenis tinta yang tersedia. Penonton menyambut antusias dan banyak yang berharap para menteri yang disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi ikut diganti. Tapi apa daya, harapan jauh, partai koalisi melakukan ancaman.
Episode berlanjut "Menteri Jangan Bebani Presiden". Kalangan Istana--para bintangnya anggota staf khusus Presiden--menyebut betapa pentingnya perombakan kabinet. Banyak menteri yang menjadi beban Presiden. Dalam episode ini ditayangkan bagaimana upaya Presiden yang berkonsentrasi penuh untuk merombak kabinetnya itu. Istana Negara, Istana Merdeka, dan istana-istana di luar Jakarta tak cukup memadai untuk konsentrasi itu, sehingga Presiden memindahkan kantornya ke rumah pribadi. (Kasihanilah presiden di Indonesia, karena tak memiliki rumah jabatan seperti yang dimiliki wakil presiden.)
Infotainment kini berlanjut ke episode "Wakil Menteri". Seperti episode sebelumnya, daya nalar penonton tak dibutuhkan. Logika bisa dibolak-balik. Bahwa episode ini bisa dikategorikan "menghina kecerdasan penonton", itu memang ya, tapi bukankah semua produk infotainment di Indonesia melakukan "penghinaan" itu?
Coba kita telisik. Dalam episode ini, secara mengejutkan (bagi yang berharap ada perombakan kabinet) Presiden memanggil calon-calon wakil menteri. Lo, ini perombakan kabinet atau mengangkat wakil menteri? Sampai akhir pekan lalu, sudah empat calon wakil menteri didapat. Belum jelas, berapa banyak pos wakil menteri yang akan dibuat.
Perdebatan muncul: kabinet tambah gemuk, kabinet menguras anggaran negara. Apakah Presiden salah? Ternyata tidak, dan itu diakui oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mengatur jumlah wakil menteri. Yang diatur hanya jumlah kementerian negara yang tak boleh lebih dari 34 buah. Wakil menteri mau 15 atau bahkan 50 boleh saja, kalau tak malu. Bagaimana bisa membebani anggaran? Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, wakil menteri merupakan kaum profesional yang sudah berkarier di birokrasi pemerintahan, sudah berstatus pegawai negeri sipil, mereka sudah punya gaji sebelumnya.
Ini logika yang konsisten dengan undang-undang. Tapi, kalau tetap konsisten, wakil menteri itu bukan anggota kabinet, jadi untuk apa Presiden repot benar mengurusi pos ini? Kalau ada menteri yang kewalahan karena beban kerjanya banyak, dan dia tak becus memberdayakan para dirjennya, dia yang mengusulkan agar dibuatkan wakil.
Lagi pula undang-undang menyebutkan pos wakil menteri dibutuhkan jika kementerian tersebut punya banyak beban kerja. Menteri Pariwisata dan Menteri Tenaga Kerja bebannya tak banyak. Namun, mengutip Daniel, Presiden mengangkat wakil menteri karena menilai kinerja kementerian tersebut kurang bagus. Ya, kalau begitu, kenapa tidak mencopot menterinya saja? Persoalannya, apakah Presiden berani mencopot, karena menteri itu datang dari partai koalisi?
Banyak logika aneh, memang. Tapi itulah infotainment