Putu Setia
Menaikkan citra parlemen tak perlu dengan melarang pemakaian rok mini. Pemimpin DPR, yang kebetulan semuanya lelaki, pasti tak akan memakai rok mini tatkala memimpin sidang. Entah kalau sedang berada di kamar kerja, siapa tahu untuk menghindari kejenuhan, mereka coba-coba memakai rok mini.
Tapi saya setuju rok mini tak dipakai para wakil rakyat yang sedang berada di gedung parlemen. Bukannya saya berotak jorok dan mudah terangsang melihat paha wanita, tapi gedung parlemen itu bagi saya adalah tempat khusus untuk memperjuangkan nasib rakyat dan meninggikan martabat bangsa. Saya sering menyebut tempat khusus itu semacam rumah ibadah, di mana ada etika yang harus dipatuhi dalam berbusana, meski tak ada imbauan atau aturan tertulis. Dulu, Bob Sadino pernah ditolak menemui anggota DPR karena dia hanya memakai celana pendek butut, meski dia berkukuh itu adalah "pakaian dinas"-nya. Ada norma dan kesantunan umum bagaimana kita bertingkah laku.
Etika dan kesantunan ini seharusnya melekat pada seseorang "yang terhormat" seperti anggota DPR. Ini juga sikap yang mencerminkan kedewasaan seseorang yang dipilih sebagai wakil rakyat. Karena itu sudah melekat, imbauan tak diperlukan, seperti imbauan agar anggota DPR selalu gosok gigi setiap hari. Lebih aneh lagi kalau larangan itu diberlakukan, karena selama ini ada wakil rakyat yang memakai rok mini saat bersidang. Sepertinya dia tidak bisa menempatkan diri di mana bertugas. Dia lupa menanggalkan predikatnya sebagai artis. Dia terus bersolek karena masih menganggap dirinya selebritas dengan modal kecantikan. Dia lupa bahwa di gedung rakyat itu soal cantik adalah nomor sekian, yang utama adalah kecerdasan dalam memperjuangkan nasib rakyat.
Jika mau meningkatkan citra parlemen, kesantunan dan kesederhanaan harus diletakkan paling atas. Ini warisan leluhur yang kini berantakan. Santun, bukan hanya tecermin dalam busana, tapi dalam perilaku dan tata bicara. Lihat sekarang anggota DPR dalam rapat dengar pendapat dengan pemerintah. Gaya mereka otoriter, maunya menginterogasi melulu, berlagak paling tahu, dan menunjukkan dirinya lebih berkuasa. Bahasa tubuh mereka, dari gerak tangan sampai tatapan mata, jauh dari santun karena mereka adalah tuan rumah. Mereka lupa membuang kebiasaan sebagai pengacara, jaksa, atau polisi.
Masalah kesederhanaan, banyak contoh yang buruk. Baju para wakil rakyat yang mahal-mahal itu, memang bisa dimaklumi, karena mereka bergaji besar dan mampu membeli. Baju batik yang dikenakan anggota DPR tentu tak sekelas batik di Pasar Klewer. Namun, untuk apa ke gedung parlemen mengendarai mobil mewah? Untuk apa pula memakai jam tangan yang harganya ratusan juta? Jam tangan mahal itu, misalnya, kalau ditaruh di lemari rumah, tak akan punya pengaruh dalam hal kinerja. Setiap anggota DPR pasti punya telepon seluler, dan semurah-murahnya ponsel pasti ada penunjuk waktu. Di mobil, di lobi, dan di setiap ruangan tergantung pula jam dinding. Jam tangan tak diperlukan kalau kita membiasakan diri melirik jam di dinding atau mengambil ponsel di saku. Ini semua aksesori, yang tak berhubungan dengan kecerdasan otak.
Selama anggota parlemen masih memuja kemewahan, memuja penampilan, meninggikan ego, menggemari aksesori, selama itu citra parlemen tak akan membaik. Apalagi ditambah dengan korupsi lantaran memuja kemewahan. Jika ingin citra naik, berubahlah. Perubahan itu pun harus dilakukan diam-diam dengan tulus, bukan dengan gembar-gembor mengundang wartawan seperti melarang rok mini itu.