Putu Setia
Tiga menteri, Jero Wacik, Muhaimin Iskandar, dan Helmy Faishal Zaini, berpose diapit gadis-gadis seksi yang mengenakan rok mini. Saya menduga, foto ini ingin menunjukkan contoh betapa rok mini memang tergolong porno di tengah-tengah para menteri yang berpakaian perlente.
Tapi kenapa tiga menteri itu jadi model? Jero Wacik, Menteri ESDM, semestinya sedang sibuk menghitung berapa subsidi bahan bakar minyak yang bisa diberikan kepada rakyat. Muhaimin pasti tak kalah sibuk mengurusi aksi buruh yang minta upah minimum regional. Akan halnya Helmy Faishal, terus terang saya tak tahu apa saja kesibukan beliau sebagai Menteri Daerah Tertinggal--kementeriannya pun kadang saya lupa masih ada atau tidak. Yang jelas, pasti ketiganya sibuk. Kok sempatnya mengurusi rok mini?
Setelah saya pelototi teks di bawah gambar itu--jika saya dituduh memelototi paha, itu pasti saya bantah--saya baru tahu, ketiga menteri ini lagi berpose-ria dengan cewek-cewek caddy golf. Saya pun menghela napas: astaga!
"Menteri kurang kerjaan," kata saya, agak keras. Saya buka-buka koran lagi, cari berita yang lebih bermanfaat. Presiden SBY membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Saya berpikir sejenak, Undang-Undang Pornografi itu diundangkan pada 26 November 2008, tak terdengar apakah selama ini pernah dilaksanakan atau tidak, kok tiba-tiba ada gugus tugas yang mirip satuan tugas alias satgas? "Presiden kurang kerjaan," kata saya, tapi dalam hati, supaya tak ada yang mendengar--harap dimaklumi, saya harus sopan kepada Presiden.
Negeri ini banyak masalah. Korupsi semakin subur, pembela koruptor semakin terang-benderang, demo menolak kenaikan harga bahan bakar minyak merebak di mana-mana, buruh unjuk rasa memblokade jalan. Belum lagi angin ribut dan tanah longsor di berbagai daerah. Kok yang dibentuk Satgas Pencegahan Pornografi?
Apakah ada hubungannya dengan tiga menteri bersama caddy pemakai rok mini itu? Apakah kebetulan saja beritanya hampir bersamaan? Di negeri ini semua bisa dipelintir bolak-balik, sehingga banyak rumor politik yang bisa dimainkan. Satgas Pornografi ini hanya pengalihan isu, begitu sebuah teori. Isu yang dialihkan, misalnya, penolakan kenaikan harga Premium, atau isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh wakil rakyat, atau isu kemelut Partai Demokrat. Kalau masih kurang, ditambah sendiri isunya.
Saya siap dijebak dalam pengalihan isu ini dengan bersedia mengomentari Satgas Pornografi. Komentar saya, selain satgas ini mengada-ada, dia membangunkan macan tidur, padahal UU Pornografi itu juga bukan "macan". Reaksi yang terjadi bukan hanya satgasnya yang ditolak, UU Pornografi yang sudah sah itu pun hendak diuji lagi ke Mahkamah Konstitusi. Sampai saat ini tak tuntas dialog yang terjadi empat tahun lalu, apa kriteria porno itu. Bisakah kepornoan diseragamkan untuk berbagai budaya, atau bisakah otak ngeres di-zona-tunggal-kan?
Telanjang di depan umum dinyatakan porno, itu oke. Lukisan telanjang di depan umum, belum tentu, bergantung pada lukisan itu menyimbolkan apa. Simbol penghayatan Tuhan dalam keyakinan Hindu yang disebut Acintya, apakah juga porno karena telanjang?
Kata "tetek" dan "puting" jorok diucapkan di depan umum, apalagi didengar anak-anak. Apakah perlu kata "tetek-bengek" dan "puting beliung" dihapus dari kamus supaya negeri ini tidak porno?
Saya khawatir Satgas Porno hanya mengurusi hal-hal kecil, sementara masalah bangsa begitu besar. Presiden dan menterinya harus bekerja keras mengurusi hal-hal yang besar itu, rok mini biarlah diurus pedagang Tanah Abang.